Beranda Opini

Pendidikan Vs Kesenjangan Bernegara

Oleh Zulfata, Direktur Kartika Cendekia Nusantara (KCN), Tebet, Jakarta Selatan

– Memahami menuju 2024 setelah dikaitkan dengan eksistensi pendidikan di bawah kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim tanpak semakin merisauhkan. Tentunya kerisauan ini merupakan akumulasi dari kerisauan dari masa-masa sebelumnya. Alasannya bahwa pertama, jika Nadiem tidak lagi menjadi menteri ke depan, apakah ada jaminan keberlanjutan konsep dan program pendidikan Nadiem dengan berbagai slogannya dapat diteruskan? Alasan kedua adalah apakah manajemen pendidikan nasional saat ini benar-benar memberi dampak kebaikan yang merata bagi generasi bangsa menyongsong perubahan global secepat kilat? Hingga sudahkah perlakuan pendidikan yang layak dan merata di seluruh wilayah Indonesia mengalami kemajuan?

Rentetan pertnyaan di atas secara tidak langsung menggiring kita untuk terus mengobarkan semangat evaluatif pendidikan di negeri ini. Arah penguatan pendidikan tidak boleh lari dari esensi yang disebut sebagai mencerdasakan kehidupan bangsa, memerdekakan rakyat dari segala yang membelenggunya dalam mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada tahapan ini ketika kita cerrminkan dengan kondisi dan situasi pendidikan level nasional hari ini, tentu masih banyak pekerjaan rumah yang terus dibenahi. Sehingga perlakuan atau penerapan kebijakan terkait pendidikan saat ini justru tampak menambah beban bagi penerapan pendidikan di masa depan.

Dari sudut pandang ini pula, beban pendidikan nasional ini tidak bisa diletakkan seutuhnya kepada pundak Nadiem sebagai menteri pendidikan masa , meskipun secara politik birokratis ia harus juga bertanggung jawab terhadap republik ini. Disadari atau tidak, melapuhnya daya fungsi pendidikan nasional tidak mengenal waktu. Proses pelapukan pendidikan ini dapat terjadi dalam kondisi apapun, baik dalam kindisi sedang berupaya memperbaiki pendidikan maupun sikap tak peduli terkait pendidikan itu sendiri.

Baca juga :  Poros Perebutan Kepemimpinan 2024

Dalam menyambut bonus demografi 2045, pemerintah harus berhati-hati dan cermat dalam mengelola arah pendidikan nasional, terlebih kondisi negara saat ini semakin kompleks menampilkan kesuraman, baik dari sisi politik, maupun ekonomi. Korupsi meraja lela, koruptor menjadi pejabat publik marak terjadi. Praktek politik bisnis tak bisa dihindari. Keberpihakan hukum terhadap pemodal semakin menekan praktik keadilan hukum oleh negara.

Kesenjangan terus menganga, mulai dari daerah hingga ke pemerintahan pusat. Mulai dari pelosok desa hingga ke perkotaan. Yang kaya semakin kaya, demikian halnya yang miskin terus menduplikatkan kemiskinan. Perubahan iklim, swasembada pangan, perang dagang hingga benturan politik ekonomi global lainnya. Semuanya ini mesti disadari sebagai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola persiapan membenahi pendidikan di negeri ini. Sehingga semua yang didik di tanah air ini mampu menghilangkan penyakit kesenjangan dalam bernegara.

Sebagai hulu perbaikan sumber daya manusia di negeri ini, seharusnya Indonesia saat ini mesti telah selesai dengan persoalan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia secara merata. Telah 77 tahun Indonesia merdeka, dari sisi infrastruktur pendidikan saja belum mampu digenjot dengan baik, terutama di wilayah terdampar, terluar, terdepan dan terkucilkan secara politik.
Problem pendidikan nasional tampak semakin ambyar ketika ketidaksesuaian antara kebutuhan yang semestinya dengan konsep dan program yang diberikan.

Baca juga :  Melihat Gigihnya Nenek Karminah, Jualan Sayur di Masa Pandemi

Konsep pendidikan meskipun dianggap linear dengan falsafah negara, namun ketika diterjemahkan melalui program ternyata belum mampu menjawab kebutuhan pendidikan terhadap rakyat hari ini. Bayangkan saja, ada berapa banyak daerah yang belum memiliki yang layak? Instrumen belajar yang bermutu? Belum lagi kualitas guru yang mengjar? Ditambah lagi soal guru dari pemerintah? Lain halnya juga soal arus pendidikan publik juga tak tersentuh massif.
Sehingga pada saat membicarakan kemajuan pendidikan nasional sejatinya tidak bisa diukur melalui di atas kertas semata. Sebab pada saat pembuktian lapangannya justru yang terjadi adalah semakin banyak slogan pendidikan, semakin tak pernah selesai pula persoalan pendidikan yang pernah dialami pada masa sebelumnya.

Sederhananya, indikator pendidikan yang mengalami kemajuan sejatinya dapat dilihat melalui keadaban yang sedang terjadi di lokasi pendidikan itu diterapkan. Jika pendidikan di suatu daerah membaik, maka berkeadabanlah daerah tersebut. Demikian halnya dengan keadaban bernegara, jika pendidikan nasionalnya mengalami kemajuan, maka berkeadabanlah negaranya. Bukan sebaliknya, justru negara semakin mempertontonkan kesenjangannya.

Baca juga :  Revisi UU Kejaksaan : Sudah Saatnya Penyidikan Dan Upaya Paksa Dikembalikan Ke Khittahnya

Berbagai hal paradoks yang disinggung secara tidak langsung di atas menjadikan kita saat ini sedang berada pada tahapan pendidikan melawan kesenjangan bernegara. Artinya dampak pendidikan harus mampu melawan kesenjangan yang terjadi dalam segala aktivitas bernegara. Orang yang berpendidikan mesti militan untuk terus menekan praktik kesenjangan itu. Yang cenderung terlihat dinegeri ini adalah semakin tampak terdidik, namun semakin buas. Semakin tinggi gelarnya, semakin hilang kemampuannya untuk melawan praktik pembodohan dan ketidakadilan. Semakin banyak sekolah dan kampus, semakin sedikit pula dampak pendidikan bagi pencerahan publik.

Belum lagi soal kesenjangan akut yang awet terjadi di tubuh tatakelola pendidikan nasional itu sendiri.Bukankah kita sepakat bahwa pendidikan itu juga bertujuan untuk mendongkrak harkat dan martabat manusia melalui bernegara? Bukankah republik ini pernah berjanji untuk mencapai kesejahteraan rakyat, adil dan makmur hingga menghapuskan segala bentuk penjajahan di permukaan bumi ini? Atas rentetan pertanyaan ini pula kita patut bertanya bahwa peran negara sedang berada di mana? Dan kita sebagai warga negara sudah berbuat apa?