Pelita.co – Situasi dan kondisi geopolitik dunia tanpa terasa telah mempengaruhi berbagai postur kedaulatan di negeri ini, termasuk dalam hal ekonomi kerakyatan. Siapa menyangka fondasi ekonomi kerakyatan yang dirancang oleh para pendiri bangsa ternyata juga tidak hanya babak belur pada masanya, melainkan juga porak-poranda di masa kini. Tidak satu golongan kekuasaan pun yang mampu memastikan kita saat ini akan terbebas dari pengaruh ekonomi dan politik dari konflik Rusia-Ukraina atau perang dagang China-Amerika, yang kemudian mempengaruhi harga tempe, kedelai di daerah terdepan, terluar dan tertinggal.
Tidak satu golongan pun yang mampu membaca hasrat kecemburuan politik negara lain saat ingin mendominasi politik investasi di dalam negeri. Di tengah kegamangan ekonomi dan politik global hari ini, serta tabuh politik pilpres 2024 semakin kencang di Indonesia, dipandang strategis untuk tidak menutup harapan dalam memperjuangkan terwujudnya ekonomi kerakyatan.
Meski harapan selalu ada, optimisme terus disemai, hingga perjuangan tak boleh berhenti, pertanyaan bagaimanakah wujud ekonomi kerakyatan itu harus dijawab sampai tuntas dalam menemukan faktanya. Bukan tidak ada praktik ekonomi kerakyatan yang sedang digeluti atau diperjuangkan saat ini. Salah satunya gerakan penguatan ekonomi kerakyatan itu terus ditempuh oleh Asososiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), yang saat ini dipimpin oleh Sudaryono.
Melalui kajian strategis APPS, berdasarkan fenomena ekonomi dan politik yang sedang terjadi pada akhir tahun 2022 hingga awal tahun 2023, penguatan ekonomi kerakyatan di Indonesia masih dihantui oleh harga bahan pokok yang masih berpotensi terus merangkak naik. Demikian halnya fenomena pengendalian pangan yang masih lemah dihulu dan simpang siur dalam hal distribusi.
Sebagai contoh, penyimpangan distribusi beras impor masih saja menjadi pemandangan pemberitaan di media arus utama. Beras impor yang sejatinya sebagai kekuatan pemerintah dalam melakukan stabilisasi harga justru tidak lepas dari praktik-praktik ekonomi tipu-tipu di tahapan distrubusi. Hal yang sama juga masih adanya gejala peningkatan harga minyak goreng “minyak kita” yang sejatinya minyak kita adalah alat atau kekuatan intervensi pasar oleh pemerintah dalam pengendalian harga bagi rakyat Indonesia.
Saat isu ketidakpastian global tak pernah reda, demikian halnya grafik yang mengarah pada peningkatan komoditi tertentu yang mengalami inflasi. Kondisi sedemikian, bukan saja pemangku kebijakan tampak terus berjuang melakukan politik pengendalian ekonomi, tetapi rakyat tampak semakin dibingungkan dengan iklim ekonomi yang sedemikian. Satu sisi berbagai kebijakan impor telah dilakukan pemerintah, tetapi mengapa di sisi lain kenaikan harga masih terus dialami oleh rakyat Indonesia. Dalam konteks ini pula, benar adakah wujud ekonomi kerakyatan itu, jika ada, bagaimana praktiknya?
Ihwal ekonomi kerakyat adalah bagi dari cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia, adanya ekonomi yang berpihak seutuhnya pada kepentingan kesejahteraan seluruh rakyat menjadi prinsip dasar bagi ekonomi kerakyatan. Tentunya dalam menerapkan ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan prinsipnya tidak mungkin tanpa kendala oleh kehadiran kekuatan ekonomi lainnya, misalnya kekuatan ekonomi pasar bebas atau pasar gelap yang kemudian dapat merusak sendi-sendi perekonomian rakyat.
Keberadaan pasar tradisional adalah bentuk nyata dari praktek ekonomi kerakyatan. Pasar tradisional memiliki ekosistem yang langsung berdampak pada aktivitas ekonomi harian masyarakat, terutama bagi kalangan akar rumput. Semua produksi, barang, jasa atau hasil panen rakyat dapat didistribusikan atau diperdagangkan di pasar tersebut. Jauh dari itu, kehadiran kekuatan pemerintah diharapkan mampu menjadi penyangga atau pengontrol ekonomi agar pasar tradisional tidak tergilas remuk oleh praktik ekonomi lainnya. Baik dari sisi hulu-rantai pasok, ketersediaan, penentuan harga, hingga hilir-daya beli konsumen.
Ekosistem ekonomi kerakyatan tidak mengenal toleran dengan praktik mafia yang jarang dibongkar tuntas pada kasus-kasus tertentu, sehingga kasus-kasus yang merugikan rakyat hampir setiap tahun terus berulang. Meskipun pemerintah terus gencar melakukan perbaikan sistem dan melakukan sidak ke lapangan, tantangan mewujudkan ekonomi kerakyatan tampak semakin besar dan semakin menantang dari tahun-tahun selanjutnya.
Hal ini bukan saja dipengaruhi oleh politik luar negeri, tetapi juga dipengaruhi oleh mentalitas dan budaya ekonomi di dalam negeri, dimana semangat untuk memperkuat ekonomi rakyat belum begitu menguat di republik ini. Hal sederhananya dapat dibuktikan melalui seberapa banyak rakyat Indonesia suka membeli produk rakyat sendiri? Sebarapa banyak rakyat Indonesia gemar berlanja di Pasar Tradisional? Ditambah lagi dengan kehadiran teknologi yang menjadikan konsumen tak terhalangi oleh ruang dan waktu.
Serangkaian peristiwa tersebut bukan saja akan menjadi preseden buruk bagi masa depan ekonomi kerakyatan, melainkan juga turut mendorong agar segala praktek ekonomi kerakyatan mesti menempuh jalan ekstra-inovatif dengan modal konkret melalui mentalitas gotong-royong dan sikap kepedulian sesama sebagai upaya penyelematan ekonomi kerkayatan yang berbasis Ekonomi Pancasila.
Sehingga, Indonesia tidak terus menerus jatuh di kubangan yang sama berupa mahal atau langkanya minyak goreng, kurangnya ketersediaan cadangan beras pemerintah, mafia semakin menyebar, petani menjerit, hingga konsumen (rakyat) lagi-lagi berteriak “Tolong perhatikan nasib kami rakyat kecil”. Lagi-lagi, fakta perekonomian Indonesia hari ini belum menjawab secara utuh dari wujud ekonomi kerakyatan itu. Maka dari itulah, semua ini mesti menjadi tanggung jawab bersama dalam memperjuangkan agar ekonomi kerakyatan di Indonesia benar-benar mengakar kuat dan menyeluruh.