JAKARTA. Pelita.co – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan, upaya dalam mengatasi kasus perdagangan orang memerlukan langkah komprehensif dan konkret. Terlebih, kasus tersebut merupakan bentuk kejahatan transaksional yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Untuk itu, keterlibatan berbagai pemangku kepentingan meliputi pemerintah, masyarakat, dunia usaha, serta media sangat dibutuhkan.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Pembangunan Daerah (Bangda) Kemendagri Teguh Setyabudi saat membuka acara Pertemuan Pusat dan Daerah dalam rangka Koordinasi Pelaksanaan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP-TPPO) di Hotel Ciputra Jakarta, Senin (28/3/2022). Agenda yang dilaksanakan secara hybrid ini berlangsung dari tanggal 28 hingga 30 Maret 2022.
Teguh mengungkapkan, korban dari tindak pidana tersebut tidak hanya berasal dari kalangan anak-anak, melainkan juga dari kalangan dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, para korban tidak hanya mengalami eksploitasi dalam urusan pekerjaan, melainkan juga secara seksual.
“Selain itu mereka juga dieksploitasi sebagai pengemis dan pelaku kriminal yang dipaksakan demi keuntungan para perekrut dan pelaku perdagangan orang yang dapat merusak kehidupan para korban dan keluarga mereka,” ujar Teguh.
Teguh menyadari, persoalan perdagangan orang cenderung sangat kompleks dan bersifat multidimensi. Karena itu, untuk mendorong upaya penanganannya yang meliputi pencegahan, perlindungan, serta penuntutan, dibutuhkan peran dari berbagai lembaga.
“Oleh sebab itu, untuk pencegahan TPPO, diperlukan upaya sinergis para pihak terkait, mulai dari lembaga pendidikan, keluarga, masyarakat, dunia usaha, dan lembaga pemerintah di pusat dan daerah,” katanya.
Teguh menekankan, penanganan TPPO perlu dilakukan dengan sinergisitas dan sinkronisasi berbagai pihak. Jika berbagai pemangku kepentingan tersebut kompak menangani hal ini, maka upaya penanganannya seperti pencatatan dan pelaporan kasus TPPO dinilai akan lebih maksimal.
Di lain sisi, tambah Teguh, Kemendagri berkomitmen mendorong upaya penanganan TPPO. Hal ini tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 183/373/SJ tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang tanggal 5 Februari 2016.
“Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah daerah perlu melakukan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan melaporkan pelaksanaan GT PP-TPPO kepada Menteri Dalam Negeri. Laporan pelaksanaan GT PP-TPPO dimaksud sebagai bahan laporan kepada Presiden,” kata Teguh.
Teguh menambahkan, untuk mewujudkan langkah sinkronisasi berbagai pihak itu, telah dilakukan Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan Pembangunan (Rakortekrenbang) pada 21 Februari 2022 hingga 8 Maret 2022. Adapun dalam rapat itu dibahas desk urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, yang fokus pada 6 indikator, salah satunya persentase perempuan korban kekerasan dan TPPO yang mendapatkan layanan komprehensif.
“Untuk mendukung indikator dimaksud antara lain dengan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP-TPPO) di daerah,” ucap Teguh.
Dirinya menjelaskan, adapun tahapan evaluasi tersebut yakni evaluasi pelaksanaan tahunan, pertengahan periode, dan akhir periode. Evaluasi tersebut dapat dilakukan secara internal maupun dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait.
Teguh menegaskan pemerintah berkomitmen mengatasi persoalan TPPO. Hal ini diwujudkan dengan adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Aturan ini mengamanatkan agar dibentuk gugus tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota.
“Gugus tugas dimaksud untuk melaksanakan fungsi koordinasi dalam kegiatan pencegahan, perlindungan dan penuntutan melawan perdagangan orang melalui kerja sama dengan para pemangku kepentingan pemerintah dan nonpemerintah lainnya,” tandasnya.