Oleh: Wulan Saroso.
PELITA.CO – Pembicaraan tingkat II pada rapat paripurna DPR RI, 12 April 2022 menyetujui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang. Sekedar informasi saja, RUU TPKS merupakan lanjutan dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) yang sebelumnya pernah masuk Prolegnas pada 2016 dan dibahas oleh DPR selama tahun 2017-2019. Dan perlu diketahui juga, akhir tahun 2019, RUU P-KS menjadi RUU kontroversi dengan adanya banyak penolakan di masyarakat. Penolakan itu terjadi karena RUU ini punya spirit melegalkan perilaku seks suka sama suka (sexual concent) dan penyimpangan seksual. Hingga kemudian tahun 2020 RUU tersebut dicabut dari Prolegnas.
Kegigihan para pengusungnya, membawa RUU P-KS masuk kembali ke dalam Prolegnas di akhir Maret 2021. Dan setelah melalui beberapa pembahasan dan RDPU, rapat pleno Baleg DPR RI 30 Agustus 2021 memutuskan perubahan judulnya menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dan sejak itu, pembahasan berlangsung maraton, hingga pada 18 Januari 2022 RUU TPKS disahkan menjadi RUU inisiatif DPR dimana selanjutnya pembahasan dilakukan bersama pemerintah.
Walaupun sudah melalui beberapa kali pembahasan, pada kenyataannya rumusan RUU TPKS masih tidak jauh beda dengan spirit RUU P-KS yang pernah ditolak pada periode lalu. RUU TPKS hanya memberi pidana pada perilaku asusila dengan adanya unsur kekerasan.
Pengaturan dalam RUU ini mengabaikan perilaku asusila yang dilakukan atas dasar suka sama suka (sexual concent) atau seks bebas yang bertentangan dengan norma agama di negara kita. Padahal tindakan asusila bisa terjadi dalam kondisi ada atau tidak adanya kekerasan. Bahkan setelah dilakukan harmonisasi melalui rapat panja dengan memperhatikan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) dari pemerintah, daftar kategori kekerasan seksual yang sempat menjadi sorotan masyarakat di saat pembahasan RUU P-KS dimasukkan kembali dalam RUU TPKS. Sementara itu tuntutan masyarakat melalui RDPU untuk memasukkan perzinaan dan penyimpangan seksual sebagai bagian dari tindak pidana kesusilaan, ternyata tidak diperhatikan. Hal ini memperlihatkan bahwa DPR bersikap diskriminatif dalam menyerap aspirasi masyarakat.
Kita semua mengutuk keras tindakan kekerasan seksual dan pelakunya harus ditindak tegas. Data kekerasan seksual yang sudah dibeberkan untuk menunjang keberadaan RUU TPKS sangat lengkap. Namun ada yang masih kurang di sana, yaitu akar permasalahan pemicu adanya kekerasan seksual tidak hanya karena adanya unsur kekerasan, namun juga tidak lepas dari perilaku perzinaan dan juga penyimpangan seksual. Maka bila DPR dan pemerintah serius ingin mencegah perilaku asusila di negri ini, tindakan pidana harusnya dikenakan kepada pelaku asusila baik yang melakukan dengan kekerasan dan tanpa kekerasan. RUU TPKS masih parsial dan tidak komprehensif dalam membuat rumusan aturan dan cenderung diskriminatif.
*Dari Seks Bebas Hingga Aborsi*
Sebagai data di antaranya, ada 266 remaja mengajukan permohonan dispensasi nikah di kantor Pengadilan Agama Ponorogo, Jawa Timur pada tahun 2021. Penyebabnya karena sudah hamil di luar nikah. Angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun 2020 sebanyak 241 menjadi 266 pada 2021. Sementara di Pengadilan Agama Gresik, pada Januari hingga Juni 2021 terdapat 124 pasangan yang mengajukan dispensasi nikah, di mana sebanyak 61 pasangan di antaranya hamil sebelum menikah. Kehamilan di luar nikah terjadi akibat perilaku seks bebas atau perzinaan yang dilakukan oleh remaja di mana masing-masing tidak terikat perkawinan. Sementara delik perzinaan di KUHP hanya memidana perzinaan yang dilakukan oleh orang yang terikat perkawinan. Lalu apabila ada pertanyaan, apakah remaja tersebut dipidana karena melakukan seks suka sama suka? Ya tentu saja seharusnya begitu, karena secara hukum sesuai UU Perkawinan no 1 tahun 1974, hubungan seks hanya boleh dilakukan dalam ikatan perkawinan. Maka bagi orang yang melakukannya di luar perkawinan seharusnya dikenakan sanksi. Dan sekedar tambahan lagi, membahas tentang kehamilan di luar nikah, tak sedikit kasus berujung pada penganiayaan hingga pembunuhan yang dilakukan oleh pacar akibat tak siap atas kehamilan tersebut.
Namun permasalahan tidak hanya sampai di sini. Perilaku seks bebas pun berakibat tindak kejahatan berikutnya yaitu aborsi. Data KPAI pada tahun 2007 menyatakan sebanyak 21,2 persen remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. Bicara tentang aborsi, laporan tahun 2013 dari Australian Consortium For In Country Indonesian Studies menunjukan hasil penelitian di 10 kota besar dan 6 kabupaten di Indonesia, ada 43 persen aborsi per 100 kelahiran hidup. Aborsi tersebut dilakukan oleh perempuan di perkotaan sebesar 78 % dan perempuan di pedesaan sebesar 40 %. Perempuan yang melakukan aborsi di daerah perkotaan besar berusia remaja antara 15 tahun hingga 19 tahun, umumnya akibat kehamilan yang tidak diinginkan.
Tak hanya pada perzinaan, dampak penyimpangan seksual pun berakibat pada tindak kekerasan seksual. Perilaku penyimpangan seksual yang awalnya dilakukan suka sama suka, berakibat pada tindak kejahatan berikutnya seperti pedofilia, pemerkosaan hingga pembunuhan. Kasus perilaku seks sesama jenis yang berujung pembunuhan tak jarang menjadi berita di media massa. Walaupun pembunuhan tidak terkategori kekerasan seksual, yang perlu disoroti adalah perilaku seks menyimpang di mana perlu adanya aturan pencegahan dan tindakan tegas terhadap perilaku tersebut agar tidak terjadi tindak kriminal berikutnya. Tidak hanya itu, penyimpangan seksual berakibat pada peningkatan kasus HIV/AIDS. Data ditjen P2P Kemenkes tahun 2019 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS yang mengalami puncak pada tahun 2019 sebanyak 50.282 kasus dan masih terus bertambah.
Perumusan RUU TPKS seharusnya menjadi peluang bagi DPR untuk membuat peraturan yang memberi efek jera pada pelaku perzinaan dan penyimpangan seksual. Karena pada dasarnya perilaku tersebut juga menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual. Apabila DPR berdalih bahwa perzinaan sudah dibahas di KUHP, maka itu tidaklah cukup. Pasal perzinaan di KUHP hanya memberi pidana pada pelaku perzinaan di mana mereka sudah terikat perkawinan. Sementara data dan fakta yang ada, perzinaan bisa dalam bentuk pelacuran dan seks bebas di kalangan remaja atau orang yang belum menikah yang dilakukan suka sama suka (sexual consent). Dan untuk kasus ini, belum ada peraturan yang menindak tegas. Seharusnya DPR memperhatikan hal-hal tersebut untuk menjadikan pembahasan RUU TPKS komprehensif, menindak tegas semua perilaku asusila, baik kekerasan seksual, perzinaan dan penyimpangan seksual. Tidak hanya pada pemidanaan, namun juga pencegahan dan perlindungan pada korban.
Walaupun usulan RUU TPKS yang berawal dari RUU P-KS sudah berlangsung sejak tahun 2017, justru seharusnya DPR menjadikannya sebagai alat pembentuk hukum yang komprehensif terhadap semua tindak pidana kesusilaan. Tidak hanya berkutat pada aspek adanya kekerasan karena suara masyarakat yang menghendaki perilaku perzinaan dan penyimpangan seksual dikenai pidana juga banyak dan sudah disampaikan ke DPR. Karena itu, pengesahan RUU TPKS dianggap tidak menyerap aspirasi masyarakat secara seimbang yang berarti mengabaikan hak-hak suara rakyat yang dititipkan melalui wakil rakyat.
Penulis adalah Sekretaris Departemen Kajian, Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga, DPP PKS.