JAKARTA. Pelita.co – Komunikolog Emrus Sihombing menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan Greenpeace Indonesia ke Kepolisian sudah tepat dan sama sekali tidak bisa dimaknai sebagai anti kritik.
Diketahui sebelumnya, Greenpeace Indonesia (GI) melakukan aksi tembakan laser dengan sebuah tulisan “Berani Jujur, Pecat!” muncul di gedung KPK pada 28 Juni 2021.
Menurut Emrus, langkah tersebut lebih pada menghormati kebebasan berpendapat, menjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan menghormati kritik berdasarkan hukum positif.
“tidak ada yang aneh, lebai bahkan ada pihak seolah bingung jika KPK melaporkan GI ke Kepolisian. Hadapi saja dari aspek hukum positif di setiap tahapan proses hukum. Karena itu, para pihak “bertarunglah” di pengadilan sampai akhirnya hakim mengeluarkan keputusan tetap,” tutur Emrus dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/7/2021).
Emrus berujar laporan ke Kepolisian hal yang wajar, sebuah peristiwa hukum biasa, hingga kecerdasan demokrasi yang dilakukan oleh KPK. Selain itu, lembaga antirasuah ini menunjukkan bahwa bukan anti kritik, tetapi menghargai kritik dengan pendekatan normatif.
“laporan ke Kepolisian hal yang wajar, sebuah peristiwa hukum biasa, kedewasaan hukum, dan kecerdasan demokrasi yang dilakukan oleh KPK. Sekaligus menunjukkan bahwa KPK bukan anti kritik, tetapi menghargai kritik dengan pendekatan normatif sebagai landasannya,” paparnya.
Emrus berpendapat sedikitnya ada empat hal substansial yang menarik dibahas secara kritis dari aspek hukum dan komunikasi yang dilakukan oleh pelaku “penembakan” sinar laser ke gedung KPK yaitu isi pesan komunikasi pada tulisan, waktu (pukul) tindakan komunikasi, terkena gedung KPK serta KPK bukan anti kritik.
Pertama, dari aspek isi pesan komunikasi. Tulisan “Berani Jujur, Pecat!” Terhadap kalimat ini, muncul pertanyaan kritis, siapa saja yang berani jujur tersebut? Apakah “siapa” tersebut, memang sudah teruji kejujurannya secara moral di tengah publik atau di ruang sidang pengadilan. Kejujuran terkait dengan integritas, maka siapa yang berani menyebut dirinya atau pihak lain memiliki konsistensi integritas tentang sesuatu hal dalam setiap perilakunya? Apakah ada jaminan bahwa orang yang memproduksi pesan sekalipun juga selalu berada pada tingkat gradasi tertinggi tentang kejujuran dalam kehidupannya? Karena itulah, mari kita serahkan ke pengadilan mengujinya.
“Selain itu, mereka harus menjelaskan dengan bukti hukum yang kuat bahwa “siapa” yang telah mendapat perlakuan pemecatan. Selanjutnya siapa yang memecat? Menyebutkan siapa “pelaku pemecat” dan yang “dipecat” harus disertai bukti hukum positif yang absah, seperti adanya surat pemecatan terhadap seseorang oleh pihak lain. Jadi, tidak sembarangan menyebutnya, sehingga tidak ada potensi memfitnah seseorang atau instansi negara. Bukankah fitnah itu keji dalam relasi antar manusia? Hati-hati,” ujar Emrus.
“Beberapa pertanyaan kritis di atas mutlak harus diurai oleh yang memproduksi pesan tersebut di pengadilan sebagai pertanggungjawaban moral dan hukum,” sambungnya.
Kedua, ungkap Emrus sebagai bentuk tindakan demonstrasi menyampaikan pernyataan. Penembakan sinar laser yang bertuliskan, “Berani Jujur, Pecat!”, apakah dilakukan dalam rentang waktu (pukul) yang diperbolehkan oleh UU terkait dengan demonstrasi. Jika itu dilakukan pada pukul 19.05 WIB, maka hal itu dapat diuji di pengadilan.
“Ketiga, sinar laser dengan tulisan “Berani Jujur, Pecat!” terkena gedung KPK. Dari aspek komunikasi, salah satu sasaran pesan tersebut ditujukan ke institusi KPK. Artinya, si produser pesan harus mempertangungjawabkan di depan hukum mengapa sasarannya gedung KPK. Apa motif hukum dan komunikasinya, misalnya image apa yang ingin dibangunnnya terharap KPK di ruang publik,” kata Emrus
Keempat, menurut Emrus KPK jelas bukan anti kritik. Ketika KPK melaporkan GI ke pihak Kepolisian, menunjukkan bahwa KPK sekedar ingin menguji kritik tersebut di pengadilan sudah berdasarkan hukum positif. Sebab dengan melaporkan ke Kepolisian, KPK telah menjunjung tinggi nilai demokrasi, termasuk kebebasan berpendapat.
“Artinya, perbedaan pandangan sebaiknya diselesaikan di proses hukum. Sebab, sebagai negara demokrasi, “juri”-nya itu lembaga penegakan hukum yang berbasis pada UU positif yang berlaku sebagai kesepakatan bersama,” pungkasnya.
Dirinya katakan ketika tahapan proses hukum berlangsung karena terkait dengan proses komunikasi, maka sangat baik meminta pendapat dari para komunikolog sebagai saksi ahli untuk mengungkap makna holistik dari semua tahapan proses komunikasi yang dilakukan oleh pihak produsen pesan.
Dengan demikian, laporan KPK tersebut harus diakhiri keputusan hakim. Jika sudah mendapat keputusan tetap dari pengadilan, para pihak harus menghormati dan menerimanya serta menghentikan polemik di ruang publik.
“Jadi, laporan ke Kepolisian yang dilakukan KPK terhadap GI sebagai hal yang wajar, biasa, sangat positif dan produktif di suatu negara demokrasi yang berbasis hukum. KPK sekaligus memberi teladan hukum yang benar dan baik dalam berwacana di ruang publik,” sebut Emrus.