BANTEN, Pelita.co – Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat Banten kerap disuguhkan dengan berbagai drama yang melibatkan calon gubernur dan partai politik. Dari momen emosional hingga perubahan dukungan yang mengejutkan antara calon-calon gubernur, semua ini menjadi bagian dari dinamika Pilgub Banten. Namun, tontonan politik ini tampaknya membuat warga Banten melupakan kenyataan pahit yang seharusnya mereka cermati: nasib mereka sendiri, yang seharusnya lebih diutamakan daripada kepedihan para calon gubernur yang berusaha menarik perhatian dan empati.
Menurut pengamat politik dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasan (Untirta) Serang, Ikhsan Ahmad, kompetisi Pilgub Banten menunjukkan penurunan signifikan. Ia menilai bahwa para calon pemimpin tidak lagi fokus pada penyampaian visi dan misi yang relevan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Banten.
Akibatnya, masyarakat lebih terlarut dalam drama politik yang sarat dengan nuansa kesedihan dan pengkhianatan, tanpa menyadari bahwa mereka seharusnya memperjuangkan nasib mereka yang lebih penting dan mendesak.
“Jika situasi ini terus berlangsung, dampaknya akan sangat mengkhawatirkan. Warga Banten, sebagai pemilih, tidak lagi mampu berpikir jernih dalam menentukan calon pemimpin yang tepat,” ujarnya, Kamis, 29 Agustus 2024.
Dengan drama yang terus berlanjut di ruang publik, banyak warga Banten yang terpengaruh dan larut dalam suasana emosional. “Tanpa disadari, empati yang berlebihan ini membuat mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir logis. Sadar atau tidak, mereka seringkali menjadi korban pengkhianatan dari pemimpin yang mereka pilih sendiri. Seharusnya, mereka yang perlu dicemaskan adalah nasib mereka sendiri,” tambahnya.
Sejak pembentukan Provinsi Banten 24 tahun silam, sejumlah masalah serius masih belum teratasi, seperti tingginya angka pengangguran, ketimpangan ekonomi, dan masalah gizi buruk pada anak-anak.
Salah satu isu mendesak adalah pengangguran. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2024, Banten mencatatkan angka pengangguran tertinggi di Indonesia berdasarkan survei angkatan kerja nasional (Sakernas) Februari 2024.
“Ini menunjukkan bahwa selama 24 tahun keberadaan Provinsi Banten, tidak ada satu pun kepala daerah yang berhasil menurunkan angka pengangguran. Ini adalah pertanyaan penting bagi warga: sejauh mana komitmen calon pemimpin untuk memajukan Banten?” jelasnya.
Lebih dari sekadar program, Ikhsan menekankan dibutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kapabilitas untuk memajukan Banten.
Airin Rachmi Diany Versus Andra Soni
Ikhsan menerangkan, dari dua calon yang ada, masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Airin Rachmi Diany dikenal memiliki berbagai prestasi dan berasal dari latar belakang politik yang kuat, dengan banyak anggota keluarga suaminya yang menjabat sebagai kepala daerah, meskipun suaminya, Tubagus Chaeri Wardana (Wawan) pernah terlibat dalam kasus korupsi.
Di sisi lain, Andra Soni dibesarkan dalam kondisi yang lebih menantang, harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan dengan cara mencari nafkah sendiri sejak usia muda.
“Airin memang memiliki pengalaman yang baik, namun Andra Soni menunjukkan ketahanan yang luar biasa dalam menjalani hidup,” paparnya.
Andra Soni, menurutnya, sangat dekat dengan kehidupan masyarakat miskin. Pengalamannya dalam menghadapi kesulitan membuatnya lebih peka terhadap kebutuhan mereka dibandingkan dengan Airin.
“Saya yakin, Andra Soni akan mampu menurunkan angka kemiskinan. Dia tahu persis apa yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin di Banten,” tegasnya.
Ketidakmerataan ekonomi di Banten juga sangat mencolok. Berdasarkan data BPS pada Maret 2024, Banten tercatat sebagai provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi kelima di pulau Jawa.
Ikhsan menegaskan bahwa apa yang dibutuhkan oleh Provinsi Banten saat ini adalah sosok pemimpin yang mampu mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. “Prestasi dan pengalaman bukanlah faktor utama. Yang paling penting adalah kepemimpinan yang memiliki solusi untuk masalah ini,” tutupnya. (*)