Jakarta, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerima kunjungan silaturahmi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD. Kehadirannya disambut Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud dan Buya Anwar Abas serta Sekjend MUI, Buya Amirsyah Tambunan beserta jajaran di Gedung MUI, Jl Proklamasi, Jakarta, Selasa (1/11/2022).
“Iya, kedatangan beliau Menko Polhukam, Mahfud MD selain bersilaturrahmi juga minta pandangan-pandangan serta meminta pendapat untuk penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia,” kata Waketum MUI, KH Marsudi Syuhud kepada media.
Kasus-kasus ini, lanjut ia, adalah kasus yang belum pernah terselesaikan terdapat 13 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu.
“MUI mendukung langkah pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa dalam hal ini adalah pelanggaran-pelanggaran HAM yang lama belum terselesaikan, tadi juga ada masukan dari kami salah satunya adalah untuk saling memaafkan, lalu bagaimana caranya itu masih kita bahas bersama di sini,” jelasnya
“Insya Allah dengan kita duduk bareng di sini 13 masalah pelanggaran HAM masa lalu ini akan segera terselesaikan,” sambungnya
Dalam kesempatan tersebut Wakil Ketua Umum MUI Kiai Marsudi Syuhud melayangkan pertanyaan kepada Menkopolhukam Prof Mahfud MD apakah KM 50 termasuk pelanggaran HAM berat atau tidak.
“Komnas HAM mengatakan itu (KM 50) harus diadili, tetapi bukan pelanggaran HAM berat. Saya tidak boleh masuk ke proses itu (wewenang Komnas HAM),” jawab Menko Polhukam.
Prof Mahfud mengaku telah memanggil Komnas HAM berkali-kali, tetapi Komnas HAM tetap mengatakan bahwa peristiwa di KM 50 itu bukanlah kasus pelanggaran HAM berat.
“Komnas HAM mengatakan itu bukan pelanggaran HAM berat tapi itu kejahatan berat,” tegasnya.
Mahfud mengatakan penyelesaian 13 kasus HAM berat akan fokus pada korban, bukan pelaku. Kedatangan Mahfud juga untuk mengenalkan tim PPHAM dan masa depan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Mahfud menuturkan, penyelesaian kasus HAM berat sudah menjadi janji Presiden Joko Widodo sejak periode pertama. Janji tersebut juga sejalan dengan TAP/MPR yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
“Ini yang dipersoalkan dan dilihat adalah korbannya bukan pelakunya, karena kalau pelaku biarlah Komnas HAM yang mencari bukti. Mencari pelakunya sulit sekali, kita fokus kepada krobannya,” ujarnya
Mahfud menyampaikan, tim yang diketuai oleh Makarim Wibisono tersebut banyak berisi orang-orang berpengalaman. Mereka sudah melihat praktek penyelesaian pelanggaran HAM berat non yudisial di banyak negara. Dia yakin, usaha ini akan sedikit membuahkan hasil disbanding jalur yudisial yang selama ini belum menemui ujung.