JAKARTA, Pelita.co – Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, prihatin mendengar kabar pesawat N250 karya Presiden BJ Habibie dimuseumkan. Setelah 2 dekade tidak tersentuh, akhirnya PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) menghibahkan pesawat bernama Gatot Kaca itu kepada TNI-AU, untuk dijadikan salah satu koleksi Museum Pusat Dirgantara Mandala (Pusdirla) Yogyakarta. Secara resmi acara serah terima akan dilakukan 25 Agustus 2020.
“Padahal 10 Agustus lalu, insan iptek bersama Presiden Jokowi memperingati 25 tahun hari kebangkitan teknologi nasional (Hakteknas), yakni hari dimana diterbangkan pertama kali N-250 si Gatot Kaca yg 100% made in Indonesia. Cukup memilukan hati,” ujar Mulyanto. Sabtu (22/8/20).
Mulyanto menilai keputusan memuseumkan pesawat N250 adalah sebuah ironi dalam pencapaian iptek dan inovasi nasional. Pesawat N250 yang semula digadang-gadang sebagai produk unggulan inovasi Indonesia kini ternyata berakhir tragis menjadi barang koleksi semata.
“Pemuseuman tersebut dapat dipandang sebagai ujung gelap dari dunia Iptek dan inovasi. Seperti isyarat kepada masyarakat ilmiah, bahwa Iptek dan inovasi itu bukanlah sesuatu yang penting.
Produk yang dihasilkannya kelak hanya akan mengisi museum, yang indah dipandang mata. Bukan produk yang secara ekonomi, Hankam dan sosial kemasyarakatan bermanfaat secara luas”, tegas Mulyanto.
“Penilaian itu bukan tanpa alasan. Sekarang coba tengok, apakah program pengembangan produksi pesawat sejenis ini masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN)? Tidak kan?! Pesawat R-80 dan pesawat N-245 dicoret dari program PSN.
Kemudian Bandingkan antara anggaran riset vaksin Corona dengan biaya jasa para buzzer dan influencer, tidak ada apa-apanya.
Apalagi kalau dibandingkan dengan APBN 2021 yang disiapkan untuk membeli vaksin impor yang sebesar 25 triliun rupiah. Sangat jomplang. Kita masih senang menjadi bangsa pembeli, ketimbang menjadi bangsa pembuat”, imbuh Mulyanto.
Mulyanto menyayangkan sikap Pemerintah yang tidak fokus dalam pengembangan Iptek dan inovasi nasional, baik dari aspek kelembagaan maupun pendanaan. Pemerintah dinilai lebih senang pada program-program populis meskipun tidak strategis.
“Soal ESEMKA misalnya. Sampai sekarang kita belum pernah lihat wujudnya seperti apa. Padahal awalnya produk ini digadang-gadang akan menjadi mobil nasional”, tukas Mulyanto.
Untuk itu, Mulyanto mendesak Pemerintah untuk membangun ekosistem pengembangan iptek dan inovasi nasional secara lebih serius, agar pembangunan iptek terintegrasi dengan pembangunan ekonomi.
“Bikin pesawat itu susah. Tapi nyatanya kita mampu dan bisa. Sudah banyak tenaga-tenaga ahli yang kita miliki. Jadi soalnya bukan pada kemampuan SDM secara teknologis. N-250 si Gatot Kaca, kita buat dan terbang.
Persoalan utamanya terletak pada ekosistem inovasi kita yang belum terintegrasi dan utuh dari hulu ke hilir, dari ide, invensi, inovasi, sampai produk unggul yg diserap pasar secara bekelanjutan.
Ekosistem pembangunan inovasi ini sangat penting, agar iptek yang dikembangkan di dalamnya tumbuh subur dan berbuah bagi kemanfaatan ekonomi, sosial kemasyarakatan dan hankam”, tandas Mulyanto.