JAKARTA,Pelita.co – Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) setiap 10 Agustus diharapkan Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan, Mulyanto, dapat menjadi momentum evaluasi terhadap pencapaian riset dan inovasi nasional.
Peringatan itu harus dijadikan pemacu dan pemicu lahirnya hasil riset dan inovasi yang bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN), harus kreatif membuat berbagai terobosan baru agar penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan riset dan inovasi terus berkembang.
“Sebagai sebuah bangsa kita patut bangga dengan beragam pencapaian hasil riset dan inovasi yang sudah dihasilkan. Secara kualitas terbukti hasil riset dan inovasi anak bangsa mampu bersaing di kancah internasional.
Untuk itu diperlukan dukungan yang konsisten dari Pemerintah agar keberhasilan yang sudah diraih dapat dikembangkan,” ujar Mulyanto yang pernah menjadi Sekretaris Kementerian Riset dan Teknologi era Presiden SBY. Senin (10/8/20).
“Namun belakangan saya melihat Pemerintah seperti tidak serius membangun program inovasi teknologi nasional sebagai dasar keunggulan kompetitif bangsa, baik dari aspek pendanaan maupun kelembagaannya.
Sampai hari ini saja bentuk kelembagaan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) masih belum jelas. Padahal Pemerintah berjanji akan menerbit Perpres tentang Kelembagaan BRIN di akhir tahun 2019. Tapi sampai memasuki semester II tahun 2020 pun, Perpres itu belum juga muncul,” tegas doktor nuklir lulusan Tokyo Technology Institute.
Mulyanto menilai Perpres tekait BRIN ini sudah sangat mendesak.
Tanpa ada kejelasan bentuk kelembagaan dikhawatirkan akan menggangu kegiatan riset yang selama ini berjalan. Program riset dan inovasi yang sudah direncanakan terancam tidak terlaksana karena tidak jelasnya aspek kelembagaan.
Mulyanto menambahkan, penundaan ini mencerminkan Pemerintah tidak punya political will untuk membangun inovasi nasional. Semestinya sesuai fatsun yang ada, Pemerintah tidak menunda selama ini. Ini tentu menghambat kerja pembangunan riset dan inovasi nasional.
Karena itu di kalangan peneliti senior, muncul kegamangan mengenai ketidakjelasan eksistensi lembaga mereka, termasuk kesan politisasi lembaga inovasi.
Terkait dengan anggaran litbang, Mulyanto juga menyoroti lemahnya dukungan pemerintah tersebut. Untuk riset vaksin Covid-19, misalnya, melalui Konsorsium Riset Nasional, ternyata hanya dialokasikan dana litbang sekitar 20-an milyar.
“Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dana pengembangan vaksin Covid-19 dari Sinovac. Karenanya jangan heran kalau akhirnya nanti bangsa ini merogoh kocek triliunan rupiah untuk membeli vaksin impor dari Cina itu. Kita masih senang menjadi bangsa “pembeli”, ketimbang bangsa “pembuat”,” tandas Mulyanto.
“Sementara, tantangan pembangunan kita semakin lama semakin berat dan peran riset-inovasi menjadi semakin vital. Medan kompetisi produksi telah bergeser dari keunggulan SDA (comparative advantage) menuju pada keunggulan bersaing (competitive advantage).
Nilai tambah dan daya saing produk sangat dipengaruhi oleh sentuhan teknologi dan inovasi. Karena itu jangan heran kalau yang terjadi adalah de-industrialisasi dini. Hal ini disebabkan sektor industri kita terus merosot, kalah bersaing untuk ekspor.
Pemerintah seharusnya serius membenahi soal ini. Jangan untuk mengurusi kelembagaan BRIN saja, sudah lebih dari 8 bulan masih terlantar. Ini kan aneh,” desak Mulyanto.(red/rls)