LUBUKLINGGAU, Pelita.co – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 sudah semakin dekat. Terlepas dari siapa yang didukung, rakyat tentunya berharap pilkada berlangsung secara demokratis, fair dan damai.
Walaupun semua calon yang bertarung dalam Pilkada berpotensi melakukan kecurangan, namun calon dari pihak Petahana atau Incumbent di Duga paling berpotensi melakukan tindak kecurangan.
Hal tersebut diungkapkan Sony Ketua Barisan Pemuda Anti Korupsi (BAPAK) dikediamannya Kelurahan Senalang, Kecamatan Lubuklinggau Utara Dua (II) Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Sabtu (12/9/2020).
Dia menuturkan bahwasanya Petahana diduga lebih berpotensi besar melakukan kecurangan dengan menggunakan fasilitas negara, baik melalui Intervensi ABPD, maupun pegawai pemerintahan.
Sebagai Kepala Daerah yang masih menjabat, pihak petahana sangat memungkinkan untuk memberikan tekanan kepada pegawai pemerintahan, supaya mendukungnya.
“Iming-iming jabatan atau mutasi sangat mungkin dilakukan. Tidak hanya itu, alokasi anggaran daerah, baik hibah maupun bansos sangat berpotensi disalah gunakan dengan klaim pemberian dari Petahana,” ungkapnya.
Dengan jabatannya sebagai Kepala Daerah, Sony mengatakan petahana juga sangat diuntungkan. Bahkan penyelenggara pemilu juga berpotensi keberpihakan kepada Petahana atau Incumbent.
Penyimpangan kekuasaan sang Petahana tergolong Political Corruption, yaitu setiap pengunaan kekuasaan pemerintahan yang tidak sah dan tidak etis untuk keuntungan pribadi dan keuntungan politik.
“Korupsi ini untuk meraih dua tujuan yakni Materi dan Kekuasaan. Pengguna kekuasaan inilah yang kerap menjadi senjata utama bagi Petahana,” ujar Sony.
Namun benarkah Petahana atau Incumbent adalah salah satunya kandidat yang bisa membuat kecurangan dalam meraih suara?
Sony menjelaskan kontestan atau peserta Pilkada hampir seluruhnya curang. Baik yang kalah maupun yang menang. Makanya tidak mengherankan jika dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), pihak penggugat (Termohon) saling serang dan menunjukan kecurangan masing-masing.
“Hanya saja tingkat kecurangan memang sangat bervariasi, tergantung stadiumnya. Namun karena pihak penggugat (Termohon) tidak mampu menunjukan alat bukti dan saksi yang cukup, kerap kali tergugat menang dalam persidangan. Kita secara objektif tentu memaklumi, selain memiliki kesadaran, petahana adalah pihak yang lebih berpotensi diduga melakukan kecurangan,” jelas Sony.