“Entahlah, saya lebih nyaman menggunakan kompor ‘hock’, kompor sumbu, kalau menerima order ‘chatering’,” ungkap Buk Mimi, warga Lampôh Daya, Banda Aceh. “Kayaknya saya lebih mudah menghitung pengeluaran,” sambung perempuan berusia setengah abad yang dikenal kerap menerima order masakan.
“Kalau pun tersedia kompor gas, hanya untuk memasak air panas, rebus telur, dan sayuran saja yang waktunya sebentar,” jelas Buk Mimi berbagi kisah. “Kalau banyak kayu bakar, saya memilih masak dengan kayu saja, tapi di kota seperti ini ya susah, bisa-bisa lebih mahal,” lanjutnya.
“Saya bisa hitung kebutuhan minyak tanah untuk sekali masak,” kata Buk Mimi seraya menceritakan kemudahan mendapatkan bahan bakar itu. “Harga minyak tanah per liter 11.000 rupiah, dan mudah saya deteksi jika mulai habis waktu memasak,” katanya.
“Kompor ‘hock’ ini ada dua ukuran, yang besar 36 sumbu dan yang kecil 24 sumbu,” jelas Buk Mimi. “Memang tidak semua toko menjual kompor jenis ini karena sudah ketinggalan zaman,” katanya dengan menambahkan harga alat pemasak itu, yakni yang besar seharga 350 ribu dan yang kecil 250 ribu rupiah.
“Iya, kita orang kecil, semua pengeluaran harus diirit-irit lah,” pungkas Buk Mimi berbagi pengalaman.
Artinya, sebagian penerima order ‘chatering’ masih merasa efektif dan efisien menggunakan kompor sumbu. Semoga bahan pendukung kompor sumbu tetap tersedia di pasaran. Amin. (razuardi/essek)