Beranda Opini

Aceh Semakin Keruh

Aceh Semakin Keruh
Zulfata Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM), tinggal di Tebet, Jakarta Selatan, (dok ist)

Oleh Zulfata Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM), tinggal di Tebet, Jakarta Selatan

Pelita co – Isu bank syariah, bank konvensional, penolakan pembangunan mesjid, stunting, termiskin di Sumatera, mutu pendidikan rendah, penerapan syariat Islam gagal, perguruan tinggi bak partai politik, korupsi meraja lela, pabrik-pabrik tan kunjung berdiri, investasi global tak masuk-masuk, pelacuran online menghiasi pemberitaan, pengangguran, anggaran sering Silpa, ulama berkampanye politik golongan, infrastruktur jalan dibangun di situ-situ saja, gedung pemerintahan mangkrak, BUMD mati suri, bantuan rakyat tak tepat sasaran, masyarakat ditipu, hingga soal tolak tarik antara eksekutif dengan legislatif bagaikan film drama Korea. Demikian seterusnya yang sangat banyak dan tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu melalui tulisan ini.

Rentetan isu di atas barang kali tidak sekadar isu, melainkan sebuah realitas yang sedang terjadi di Aceh hari ini. Terlapas ada pihak yang mengakuai atau tidak, kondisi Aceh sedemikianlah yang dimenjadikan Aceh hari menjadi semakin keruh, kadang bermau amis dan menyengat. Upaya atau tanda-tanda untuk menjernihkannya belum tampak kuat. Hal ini dapat dilihat dari sikap elite politiknya hingga pola komando birokrasi pemerintahan Aceh. DPRA seakan tidak memiliki taring untuk menunjang kinerja eksekutif melalui tupoksinya. Apakah DPRA hari ini lumpuh? Atau sudah menjadi komando dari eksekutif? Biarlah masyarakat Aceh yang menjawab.

Masyarakat Aceh saat ini terasa hidup bagai tak ada jaminan yang pasti dari para pemimpinnya. Problem keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) di Aceh selalu didengungkan, namun orang-orang yang telah memiliki SDM justru dikecilkan perannya di dalam pemerintahan Aceh atau di luar pemerintahan. Hasrat politik golongan terus mendominasi. Kekuatan semacam praksis pendidikan atau geliat bisnis terhalang oleh tembok politik yang dijaga oleh barisan loyalis yang hanya memikirkan kelompoknya sendiri.

Baca juga :  HMI dan Kekuatan Tulisan: Akankah HMI Memiliki Wajah Baru?

Gejala-gekala premanisme yang mengatasnamakan agama pun tak terhindari, diskursus atau wacana di ruang publik dikemas untuk menjadi suram dengan gerakan yang seolah-olah dirinya sebagai satu-satunya wakil tuhan di permukaan bumi ini. Gejala sosial ini secara tidak langsung telah menciptakan jalan yang menjadikan kelompok-kelompok intelektual lokal terpaksa mencari perlindungan dalam barisan premanisme yang suka bermain di air yang keruh tersebut.
Premanisme yang dimaksud sungguh banyak jenisnya, ada premanisme politik, premanisme pendidikan, premanisme bisnis hingga premanisme kultur. Keterpaksaan untuk berpihak pada kelompok premanisme ini bisa jadi persoalan elektoral di 2024 dan bisa jadi karena ingin bermain di posisi aman saja. Kemunafikan meraja lela di sana, keteladanan jadi sekadar pembungkus di ruang publik, krisis kepemimpinan sudah di depan mata, ketika ada calon pemimpin yang berpotensi baik bagi daerah, maka akan diusahakan untuk dijebak ke dalam sistem politik yang bobrok, sehingga menjadi pemimpin “anak baik” yang Asal Bapak Senang (ABS).

Gerbong poltik yang tua dan muda tampak hanya mesra atau harmonis di permukaan, namun di dalamnya saling jegal. Politik pemburu rente semakin menjamur, praktik dagang sapi menjadi hobi, diplomasi dalam toko ada toko hampir menjadi ciri khas politik Aceh hari ini. Dimana martabat Aceh itu sekarang? Nyaris tidak ditemukan lagi. Iklim saling curiga, tidak saling menjaga kejujuran dan kekompakan demi kemajuan daerah menjadi sebatas harapan yang belum kuat dalam perwujudannya.

Baca juga :  Bisnis Itu Bernama Pilpres 2024

Melihat fakta Aceh dari kacamata helikopter tersebut memang Aceh tampak seperti ikan lele di air yang keruh. Memangsa sesama dirinya sudah menjadi kelaziman, barang siapa yang ingin menjernihkan dianggap sok pahlawan, atau ditekan karakter juangnya. Generasi muda atau masyarakat Aceh seakan tidak dapat lagi melihat mana pemimpin perampok, tidak diketahui lagi mana pemimpin yang suka merusak tatanan ekonomi daerah, hingga tidak mampu melihat bagaimana menyusun langkah untuk membersihkan ekosistem Aceh kekinian yang keruh di seluruh sektor.

Ingin berharap ke perguruan tinggi di Aceh, juga tanggung dengan tidak menyebutnya seperti tak berguna untuk Aceh. Berharap pada peran patai politik lokal atau nasional? Apa lagi. Berharap pada pengusaha? Pengusaha tetapi kontraktor. Berharap pada ulama? Semoga tak dipolitisir. Berharap pada generasi muda? Bisa jadi. Berharap pada pemerintah Aceh? Mesti ada orang dalam. Berharap pada organisasi pengkaderan? Pecah belah internal yang ditemukan.

Melihat Aceh secara jujur barang kali memang menyuramkan, terlebih saat melihat elite-elite Aceh yang lincah melenggang ke Jakarta atau ke luar negeri. Sungguh makin gelap. Saat ini, usai rentang jalan MoU Helsinki, bukan tidak banyak orang cerdas di Aceh, tetapi keberadaan mereka tampak mati kutu dalam situasi Aceh yang keruh itu. Hal ini terjadi karena mereka tak memiliki nyali politik, dan terkadang pun mereka merasa sok suci, sehingga tidak ingin dekat dengan garis perjuangan politik.
Apakah Kekeruhan Aceh ini akan hilang ketika adanya bonus demografi nanti? Bisa jadi yang terjadi adalah petaka demografi di Aceh.

Baca juga :  Membaca Arah Politik Gerindra-PKB

Apakah kekeruhan Aceh akan hilang setelah elite Aceh sadar setelah Dana Otsus diihentikan mengalir di Aceh? Belum diketahui pasti. Adakah solusi untuk dapat mencuci Aceh agar tidak keruh? Semuanya tergantung ada atau tidaknya pemimpin yang kuat untuk rakyat di Aceh.

Jika melihat dari pemanfaatan kesempatan, para mantan yang katanya pejuang itu telah mengisi jabatan-jabatan strategis di Aceh, namun dengan keberadaan mereka bukan justru memajukan Aceh, melainkan tambah berkontribusi untuk membuat Aceh semakin keruh. Memikirkan tentang Aceh kekinian terkadang membuat kita bingung, muak, emosi, dan terkadang membuat kita tertantang untuk ingin memperbaikinya. Untuk itu, adakah nyali bagi orang Aceh atau orang luar Aceh untuk berani membersihkan Aceh yang kini semakin keruh dan amis itu? Wait and See.(red)