Beranda Opini

Anies Baswedan, Dijegal atau Paradoksnya Kendaraan?

Oleh Zulfata Direktur Kartika Cendekia Nusantara (KCN), Jakarta Selatan. (Dok.Ist)

Pelita.co – Adalah suatu kehebatan Anies Rasyid Baswedan melalui bungkusan karir akademisnya hingga sampai pada posisi bakal capres 2024. Melalui kekuatan kata-kata atau pidatonya level “dewa” telah membelah tensi kontroversial publik. Suatu keniscayaan ketika masuk di gelanggang politik Indonesia mesti siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk mengalami jalan buntu menuju puncak karir politik untuk mencapai kursi presiden Republik Indonesia.

Dalam konteks dinamika pilpres 2024, Anies Baswedan dianggap mengalami penjegalan. Pada dasarnya hal itu merupakan sebuah kelaziman politik bagi Indonesia hari ini. Semua bakal capres pun mengalami penjegalan. Bukan saja Anies, hanya saja motif dan semangatnya penjegalan saja yang berebeda. Melamapui dari itu, jauh lebih menarik dari soal penjegalan adalah apakah Anies dijegal atau paradoknya kederaan politik Anies? Sehingga Kendaraan yang dipakai Anies justru membuatnya terjegal dengan sendirinya.

Sebagai pengantar awal kajian politik saat ini, ada empat indikator Kendaraan yang dipakai Anies yang barangkali memabutnya lumpuh sebelum mendapat legitimasi puncak, atau terbenam dalam kekuatan politik citra yang tak mengakar dalam pembuktian kerja solusi bagi kebangsaan dan kenegaraan. Semoga saja Anies tidak mengalami peristiwa politik layu sebelum berkembang. Empat indikator Kendaraan Anies yang dimaksud tersebut yaitu; Pertama. Menggunakan partai politik (parpol) dengan rekam jejaknya tidak bisa lepas dari praktik “tidak ada makan siang yang gratis”, terlebih hasrat pebisnis lebih dominan di parpol tersebut dari pada menciptakan keadilan dan kemakmuran, apalagi spirit tulus mengabdi kepada rakyat jelata.

Baca juga :  Milenial: Antara Petani dan Politsi

Kedua. Pembuktian kinerja menteri yang dikenal identik dengan Kendaraan yang digunakan Anies tersebut. Barangkali Anies, atau barisan politiknya tidak memiliki jalan lain selain harus memakai kendearaan tersebut, yang kemudian menutup mata dan gigit jadi dengan “politik kasus” yang sedang mengarah pada orang-orang partainya. Atas kondisi ini, jauh panggang dari Api ketika Anies siap membenahi sistem politik yang begitu kental dengan budaya politik oligarki-lintah darat, sementara itu ia muncul dari modal golongan tersebut. Terlebih Anies bukanlah penguasa parpol atau pemilik parpol.

Anies hanya sekadar orang yang pernah awal bersama parpol tersebut, namun belum begitu matang dalam pertarungan elite interal parpol dan lintas parpol. Sebab melalui kata-kata Anies yang bertebaran di media sosial sejati tidak semudah menghadapi kepicikan politik kekuasaan di internal parpol atau pun lintas parpol. Diakui atau tidak, untuk memimpin Indonesia tidak bisa denga kekuatan sendiri, butuh kekuatan bayangan untuk membantu, menyokong, menguasai berbagai aspek kekuasaan yang terus menghantui republik ini, apakah itu kolonialisme gaya baru, hingga soal ancaman ekonomi.

Kemudian apakah mungkin Anies dapat merdeka dari intervensi pemilik kederaannya di kemudian hari? Sungguh manisnya kalimat bijak Anies tak mampu melawan pemilik Kendaraannya, hanya saja barangkali mereka sedang bermain politik “ketipan mata” dengan tidak berlinduk melalui konsep “politik kolaborasi”. Seolah-olah gerakan politik Anies dilebel sebagai politiknya orang baik, atau politik orang yang sedang dihadang gelombang besar rezim, meskipuan ia pernah menjadi bagian dari rezim. Padahal, semua itu hanyalah sekadar taktik dalam menjaring perhatian publik yang barangkali belum mendapat kesejahteraan dan keadilan di masa kepemimpinan Jokowi. Situasi dan kondisi seperti inilah sejatinya tulisan ini bertujuan untuk pelecut penalaran politik publik dalam mencermati posisi Anies menuju 2024.

Baca juga :  Terbukti Secara Sah Melanggar Kampanye, Abdullah Akhirnya Dicoret dari Daftar Tetap Caleg DPRD Purworejo

Ketiga. Posisi tawar bakal koalisi. Kendaraan yang ditumpangi Anies juga terjegal lendmark yang disebut hambalang serta parpol yang ketua umumnya belum begitu matang dalam memimpin sebuah parpol yang pernah besar. Sehingga Kendaraan yang dipakai Anies masih terkesan pemimpin yang masih berlindung pada kekuatan seorang ayahnya, sebab ayahnya jauh lebih matang dalam menjalani proses-proses politik di negeri ini. Tidak dengan ketua umum parpol yang dijadikan Kendaraan Anies dalam meraih tiket pencapresan pada 2024 itu yang masih terkesan mengalami proses politik karbitan.

Keempat. Pernah mengalami tragedi politik saat Jokowi sebagai presiden Indonesia, dan pernah mengalami benturan politik dengan ketua umum partai lain menjelang masa akhir jabatan Anies sebagai Gubernur Jakarta. Dalam konteks ini, bukanlah suatu jegalan yang begitu saja menimpa Anies, melainkan kekuatan jegalan tersebut telah ditabung sendiri oleh Anies secara tidak langsung di waktu yang lalu. Dalam konteks ini, Anies sejatinya harus jantan menghadapinya. Jangan seolah-olah ingin membuktikannya sebagai anti tesis dari presiden Jokowi, tetapi pada waktu bersamaan ingin menyajikan politik koaborasi dan meritokrasi bersama gerbong politik Jokowi saat ini.

Baca juga :  Cuma Lulus SMA, Kuliah Saraswati Gak Selesai, KBIM: Sebar Informasi Palsu Bisa Kena Pidana

Atas dasar ini sejatinya Anies senantisa harus jauh dari sikap merasa cerdas, merasa bijaksana, merasa mampu, merasa visoner, merasa membawa api perubahan bagi terwujdunya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun semua itu jika ditarik ke peristiwa-peristiwa politik belangkang melalui rekam jejak proses politik Anies serta rekam jejak Kendaraan atau tiket yang dipakai Anies justru mengalami ketidaksesuaian dengan akal sehat menuju masa depan Indonesia yang lebih baik.

Kuncinya, sejauhmanakah kekuatan Anies dalam berdaulat secara politik dan ekonomi atas Kendaraan politiknya? Atau jangan-jangan ia akan lumpuh tak berdaya, bahkan akan menjadi boneka politik hari ini dan kemudian hari. Sebab fakta-fakta proses meraih kekuasaan di Indonesia memang masih kejam, belum lagi soal politk campur tangan negara asing yang tidak mungkin berdiam diri dalam menyaksikan kontestasi politik 2024.

Atas percikan penalaran singkat ini pula barangkali Anies Baswedan bukan dijegal, melainkan ia menciptakan penjegal bagi dirinya sendiri, dan secara tidak langsung ia sedang menaiki Kendaraan politik yang paradoks bagi perbaikan demokrasi dan nasib rakyat Indonesia, baik masa kini maupun masa depan. Semua persoalan yang terseret dalam kajian ini sungguh disadari tidak bisa berhenti dengan kalimat “kita harus optimis”, yang kalimat itu terkadang sering dijadikan topeng palsu dalam mempertahankan pernyataan politik atau gagasan politik. Inilah secuil catatan untuk Anies Rasyid Baswedan menuju pesta demokrasi-liberalisasi politik 2024.