Pelita.co – Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat menuju 2024. Seiring itu pula, ada banyak cerita, fakta, dinamika dan rekayasa yang dilemparkan ke ruang publik, termasuk pula ihwal antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Surya Paloh (Paloh) sebagai ketua umum partai politik yang begitu gencar menyusung Anies Baswedan sebagai bakal capres-capres dan seterusnya.
Kajian ini mencoba mengumpulkan fenomena politik yang unik untuk dicerna oleh publik, mulai dari persoalan safari politik, endorse politik, kompromi politik, kepentingan politik, hingga konsolidasi politik. Di tengah gelombang isu perombakan kabinet yang ramai menyasari menteri-menteri dari kader partainya Paloh, tepatnya kader Partai Nasdem. Hubungan dan relasi antara Jokowi dan Paloh menyublim tidak sebatas pertemanan atau sahabat, tidak sekadar presiden partai dengan ketua umum partai, dan tidak pula sebagai musuh tanpa jalan tengah. Semuanya mengalir membentuk beberapa wacana dan fakta di antaranya adalah telah terjadinya keretakan politik antara Jokowi dan Paloh.
Hal ini dapat dipahami melalui beberapa hal politis seperti adanya penampakan pasca deklarasi Anies Baswedan sebagai capres oleh Nasdem, yang biasanya pelukan Paloh dengan Jokowi tampak mesra, namun pada saat itu pelukan mereka tampak kaku. Gestur atau simbol politik seperti ini tentu memicu penalaran politik bagi publik. Selanjutnya, dengan gaya politik Jokowi yang gemar mengendorse bakal capres tertentu, Anies Baswedan yang “dijagokan” oleh Paloh justru tampak tidak mendapat tempat bagi politik endorse Jokowi.
Berangkat dari secuil penampakan antara Jokowi dan Paloh di atas, sejatinya bagaimana publik dapat melihatnya? Apakah Jokowi dan Paloh benar-benar berseberangan politik pada pilpres 2024 mendatang? Bagaimanakah kekuatan politik Paloh tanpa dilecut oleh politik Jokowi pada pilpres 2024? Serta bagaimana pula publik dapat mengambil hikmah dari gelagat politik Jokowi dan Paloh?
Berpolitik memang dinamis, berbagai kemungkinan dapat terjadi dalam dunia politik. Kaum terdahulu menyebutnya berpolitik tidak seperti matematika, berpolitik tidak seperti bertempurnya di medan perang militer, karena dalam berpolitik dapat mati berkali-kali, hidup berkali-kali, hidup selamanya, bahkan hilang bagaikan ditelan bumi.
Yang ingin disampaikan dalam konteks menggiring untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas adalah kontestasi politik 2024 memang benar tidak sekadar soal Jokowi dan Paloh, namun disadari atau tidak, postur politik pilpres 2024 peran Jokowi dan Paloh sangat menentukan nasib orang banyak di negeri ini, termasuk nasib demokrasi Indonesia. Benar bahwa secara umum, semua pimpinan partai politik yang telah mencapai jumlah kursi tertentu adalah pengendali arah bangsa dan negara, namun dalam konteks antara Jokowi dan Paloh dapat disebut sebagai dua pemegang kunci keramat transisi politik nasional 2024, meskipun ada beberapa tokoh lainnya juga sebagai pemegang kunci keramat tersebut.
Saat kita berusaha membuka tabir-tabir politik antara Jokowi dan Paloh, dalam konteks kehadiran Anies Baswedan sebagai bakal capres dianggap anti tesanya Jokowi, anggapan sedemikian adalah anggapan yang sangat keliru tanpa menyebutnya anggapan konyol. Buktinya, pahami saja siapa sosok Paloh, ia adalah seorang politisi ulung, lebih awal berpengaruh di dunia politik sebelum Jokowi tampil sebagai salah satu wali kota atau gubernur di republik ini.
Paloh adalah seorang pengusaha mentereng, kekuatan kapitalisasinya tidak sekadar mempengaruhi iklim industri pers di negeri ini, tetapi juga memiliki kaitan dengan nasib sumber daya alam di berbagai wilayah Indonesia. Berbeda halnya dengan Jokowi, seorang yang datang belakangan dalam berpolitik, kalangan sipil yang menjadi panglima tertinggi, tanpa titel yang menumpuk, kemudian jurus blusukan dan lainnya telah menghantarkan Jokowi melampaui karir politik para pendahulunya, yakni Jokowi mencapai posisi jabatan Presiden RI dua periode.
Tanpa mengurai semua hal yang melekat pada Jokowi dan Paloh, perlu ditarik benang merahnya dalam konteks pilpres 2024 adalah siapa pun yang “dijagokan” oleh Jokowi dan Paloh tentu tidak berakhir pada kesimpulan tesa ataupun anti tesa dari kepemimpinan Jokowi sebagai presiden RI saat ini. Sebab dunia politik Indonesia telah memiliki mekanisme bekernya sendiri melalui serangkaian kompromi politik pasca pilpres.
Jadi, melalui slogan-slogan politik koalisi yang terkesan menggoda tersebut sejatinya adalah sebuah harapan kosong tanpa tindakan serius, mengakar dan efektif. Mencermati politik antara Jokowi dan Paloh memang banyak misterinya dari pada rasionalitasnya. Hal ini dimaklumi terjadi dalam kondisi iklim politik Indonesia yang tampak semakin tak menentu masa kini. Demokrasi Indonesia akan terus-terusan begini, bahkan makin kacau tanpa ada kehadiran mentalitas sikap kedewasaan politik di kalangan rakyat sebagai pemilih, sebagai penentu kedaulatan suara rakyat tanpa dibajak.
Mentalitas kedewasaan politik kewargaanlah yang mampu menghantarkan Indonesia agar benar-benar berubah ke arah yang lebih baik, bukan pada slogan koalisi “perubahan”. Publik mesti jeli melihat dan menyadari bahwa dalam agenda politik 2024 ada banyak praktik pembodohan politik publik secara laten, dan hal ini telah tercemar bebas merasuki benak-benak warga biasa hingga kaum terpelajar, baik itu berada di desa maupun di kota.