Pelita.co – Politik lima tahunan di Indonesia menjadikan corong kekuasaan selalu melihat peluang pada pilpres yang akan berlangsung. Pilpres bukan saja dijadikan panggung transformasi kepemimpinan nasional, bukan juga adu program kerja, tetapi juga bicara peluang kuasa apa yang akan bertahan kuat, atau siapa yang kemudian perlahan-lahan kuasanya akan luntur seiring rezim berganti.
Membaca politik Indonesia sungguh tidak jujur ketika hanya mempercayai mekanisme formal yang dikerjakan oleh institusi penyelenggara Pemilu, terlebih lagi adanya lembaga yang katanya sebagai pengawas pemilu. Malampaui dari itu, sendi-sendi politik Indonesia saat ini sudah tertancap kuat dengan apa yang disebut bisnis politik, berbisnis dengan menggunakan perangkat kekuasaan sebagai pengendali oleh suatu negara atau beberapa negara.
Jika di masa dahulu kala ada yang menyebutnya sebagai kolonialisme, imperialisme dan seterusnya, banyak istilah lain yang serumpun dengan itu. Soal istilah-istilah tersebut para pengamat politik cukup kreatif dalam menciptakan istilah, namun tidak bisa berbuat lebih agar politik Indonesia dapat stabil dari kuasa bisnis. Demikian halnya dengan perdebatan hukum dan politik, apakah negara Indonesia murni sebagai negara hukum atau negara politik (kekuasaan)? Tentu jawabannya beragam, terlebih masa kini setiap kubu kekuasaan memiliki influensernya masing-masing, mulai dari kelas akar rumput hingga kelas elite.
Indonesia semakin unik dan menantang untuk dicermati, terlebih ketika kita hendak membuka diskursus pendidikan politik di ruang publik. Relasi antara bisnis, politik dan hukum merupakan beberapa kata kunci untuk memahami arah laju negara Indonesia. Pilpres tanpa bohir, wayang tanpa dalang, hingga liarnya penegakan hukum hampir menjadi suatu kebudayaan baru yang suka atau tidak suka harus kita nikmati dengan penuh lapang dada.
Soal ada untung di balik kuasa, ada target di balik pembiayaan, ada panggung yang harus diciptakan, ada gerakan yang harus direkayasa, ada hutang yang mesti dilunasi, ada pekerja yang harus ditanggungi, hingga ada pasukan yang harus dikerahkan. Semua ini tentu tidak bisa dipahami dengan logika hitam di atas putih, melainkan realitas bisnis tanpa etik justru menuntun kita untuk melihat kondisi bangsa Indonesia kekinian dengan penuh rasa tantangan dan api harapan.
Sepanjang Pemilu atau pilpres berlangsung di Indonesia, sepanjang itu pula konsentrasi terhadap upaya merebut, mempertahankan dan melanjutkan kekuasaan tidak pernah terhenti. Semua ini dilakukan tidak dengan biaya yang murah, tidak dengan mengandalkan satu kelompok bandar, tidak berharap pada sosok yang dijadikan domba dalam gelangang pertarungan. Asal semua aset bisnis dapat dijaga melalui kaki tangan kekuasaan, siapapun boleh jadi penguasa, beginilah dunia politik bekerja hari ini.
Sebagai rakyat Indonesia, saat ini kita patut bersyukur bahwa negara bangsa Indonesia hari ini masih utuh meskipun potensi kehancuran medekam dan terus membara di dalamnya. Melihat berbagai aspek yang sedang terjadi di dunia, mulai dari persoalan rantai pasok global, politik keamanan internasional, hingga persoalan ekspansi ekonomi yang tanpa disadari telah menciptakan polarisasi nyata di tubuh Indonesia hari ini.
Mungkin tidak semua sadar bahwa kita sepakat untuk menolak polarisasi dalam pilpres, namun, pada waktu yang sama kita terlena dalam polarisasi ekonomi digital, UMKM di tengah praktik ekonomi liberal yang perlahan-lahan akan merontokkan sendi-sendi ekonomi Pancasila. Yang kaya akan semakin kaya, yang kaya akan mengendalikan kebijakan, yang memangku kuasa akan jadi prajurit orang-orang kaya di balik layar. Apakah orang kaya tersebut berada di dalam negeri ataupun luar negeri. Dengan menggunakan kalimat orang kaya di sini akan menuntun pembaca terkait apakah itu memberi sinyal bahwa ada peran pebisnis di dalam setiap pilpres?
Jika jawabannya adalah mustahil tidak ada keterlibatan pebisnis dalam menentukan postur kekuasaan lima tahunan di Indonesia, maka tidak keliru rasanya pola politik di Indonesia hari ini identik dengan konfigurasi bisnis. Sederhananya, ada berbagai aspek rugi dan untung serta bonus apa yang akan didapat dalam setiap perhelatan pilpres. Berbagai lembaga survei, lembaga pendidikan tinggi, bahkan institusi penegakan hukum yang paling bergengsi di negeri ini pun tak mampu menjamin bahwa pilpres tanpa bayangan pebisnis. Sebab dalam konteks bisnis yang dimaksud dalam tulisan ini bukan sekadar skala nasional, tetapi menyeret kepentingan bisnis global, termasuk soal kaitan antara perang yang dilakukan oleh negara-negara kuat di dunia.
Lantas bagaimana mengendalikan suatu bisnis (pilpres) hingga tidak menjadi duri dalam daging? Bisnis tidak dapat dikendalikan, ia hanya untuk dikompromikan agar mencapai kesepakatan konkret melaui kekuatan-kekuatan politik yang sering menyuarakan kepentingan masyarakat kelas bawah. Dunia hari ini memang semakin transaksional, namun apapun tantangannya moralitas yang telah tertanam kuat dalam bangsa ini tak boleh rapuh, tak boleh hilang, tak boleh tanpa regenerasi, mesti berkecambah dan mengakar. Mampukah pilpres 2024 berjalan dengan penuh kekuatan moral dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas? Tunggu saja episode tulisan selanjutnya.