OPINI – Aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh perkumpulan kepala desa di Jakarta satu hari yang lalu bukanlah suatu keanehan, bahkan dapat dianggap bukan sebagai gerakan yang prestisius. Gerakan yang mendorong perkumpulan kepala desa yang “sengaja” datang ke Jakarta untuk menuntut adanya kebijakan negara yang menambah masa jabatan mereka dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Terlepas dari pro dan kontra gerakan para kepala desa tersebut, yang ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah kisah Jakarta memiliki keunikannya sendiri dengan tidak menyebut Jakarta itu “berengsek” dalam kacamata yang positif.
Jakarta dari dulu hingga saat ini sulit dipisahkan sebagai kota dengan julukan kota demonstrasi, bahkan presiden pun dapat dilengserkan melalui demonstrasi di Jakarta, tidak hanya itu, calon gubernur pun dapat masuk ke jeruji besi saat melakukan demonstrasi di Jakarta. Pada posisi ini dapat dipahami bahwa ketika memaknai demonstrasi di Jakarta bukan sekadar demonstrasi yang dilakukan sebagai wilayah administrasi DKI Jakarta semata, melainkan juga bermakna yang sifatnya ganda dan bias. Sehingga demonstrasi di Jakarta dapat berpeluang mempengaruhi kebijakan orang nomor satu di Indonesia, atau mempengaruhi kebijakan nasional.
Hampir semua kalangan dan lintas profesi menggelar demonstrasi di Jakarta. Tua, muda, pelajar, guru, mahasiswa, dosen, agamawan, santri, sastrawan, buruh, karyawan, bapak-bapak, emak-emak dan seterusnya telah menjadikan Jakarta sebagai saksi bisu terkait ada peran kekuatan apa yang berada di balik demonstrasi di Jakarta.
Seperti hal yang telah disinggung pada kajian sosiologi politik terkait Jakarta pada tulisan sebelumnya, untuk sampai di Jakarta tidaklah bisa dengan tangan kosong, artinya mesti ada biaya atau belanja yang sering disebut ongkos transportasi, uang makan atau uang rokok. Lebih lanjutnya ada yang menyebut biaya akomodasi. Terlebih demonstrasi dilakukan dengan jumlah orang yang ribuan, massa memadati jalan di depan gedung DPR-RI atau di lingkar gedung kementerian. Singkatnya, sulit menyangkal pernyataan bahwa “ada anggaran, ada aksi”. “Ada biaya, ada yang bisa digerakkan”. Semua itu apakah bertujuan untuk menggerakkan dengan durasi yang kurang dari setengah hari, ataupun lebih dari setengah hari.
Saat mencermati berbagai bentuk dan pola serta motif yang mengakibatkan demonstrasi terjadi di Jakarta, tentunya kita tidak bisa lepas dari siapa aktor intelektual yang mendalangi demonstrasi, golongan apa yang digerakkan, ada berapa simpulnya, siapa bohirnya, apa targetnya, siapa pengawalnya, apakah warnanya dan lain sebagainya. Perihal kompleksitas terkait gerakan massa atau demonstrasi sedemikian dapat memperburuk wajah demonstrasi dari hari ke hari di negeri ini.
Dampak buruknya adalah ketika benar-benar ada demonstrasi yang benar-benar berangkat dari memperjuangkan aspirasi atau jeritan rakyat. Justru dengan ulah demonstrasi orderan menjadikan gerakan demonstrasi murni kerakyatan menjadi lenyap kekuatannya. Alih-alih mendat kepercayaan dari rakyat secara luas, justru yang terjadi adalah kekecewaan bagi rakyat ketika melihat cerita akhir dari sebuah gerakan demonstrasi di Jakarta.
Tanpa menarik bentuk demontrasi yang dilakukan masa orde lama dan masa orde baru, pahami saja potret demonstrasi seperti gerakan 212, people power-pilpres, tolak revisi UU KPK, omnibus law, RKUHP dan sebagainya. Secuil gerakan demonstrasi yang disebut ini tidak lepas dari peristiwa demonstrasi di Jakarta. Terkadang terdapat suatu pendapat yang unik bahwa saat ini, ketika ada yang melakukan demonstrasi di Jakarta sudah mudah ditebak siapa dalang di belakangnya. Karena demonstrasi di Jakarta cenderung bersifat dari mereka untuk mereka. Siapakah mereka tersebut? Barangkali mereka yang mampu memanfaatkan isu atau suara yang diperjuangkan oleh para demonstran.
Hadirnya tulisan ini bukan sedang menyatakan bahwa demonstrasi di Jakarta atau mengepung gedung DPR-RI, Kementerian atau lembaga negara lainnya tidaklah efektif untuk kondisi iklim berdemokrasi masa kini. Meskipun ada yang berkeyakinan bahwa demontrasi yang dilakukan di Jakarta saat ini tidak efektif dikarenakan kemurnian niat baiknya mudah terpatahkan dengan kenyataan publik. Terlebih masing-masing partai politik, aliansi, organisasi apa pun namanya mudah diselesaikan dengan strategi kompromi. Benturan kepentingan pada akhirnya terselesaikan dengan kata kompromi. Itulah kenyataan berdemokrasi Indonesia masa kini.
Dengan mencermati berbagai arah, potret dan perkembangan demonstrasi di Jakarta, secara tidak langsung menggiring kita semakin melihat betapa suramnya tampilan berdemokrasi. Bukan sekadar nasib demokrasi di ujung tanduk di wilayah administrasi DKI Jakarta, melainkan juga menumbuhkan fakta lelucon berdemokrasi yang dimainkan oleh penguasa-penguasa di Jakarta, dan korbannya selalu bersarang pada masyarakat kelas bawah. Bahkan terkadang lelucon ini secara tidak sadar juga digeluti dan dinimati oleh generasi yang katanya agen perubahan bangsa yang lebih merdeka dari segala bentuk penjajahan di bumi ibu pertiwi.