Pelita.co – Usulan politik terkait penambahan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun di awal 2023 secara tidak langsung telah menarik garis politik yang sama antara desa dan Jakarta. Artinya, arena politik desa dan Jakarta sedang berada dalam posisi kepentingan pilpres, yaitu mendapatkan ketahanan kekuasaan melalui pilpres 2024.
Dalam konteks ini pula bagaimana nasib politik desa? Apakah desa relevan dilibatkan dalam dunia prakmatisme ibu kota? Sungguh badai politik pilpres 2024 telah menyeret berbagai kearifan politik desa, sehingga politik desa muncul sebagai trigger dalam memuluskan hasrat politik ambisius sekelompok penguasa yang mendominasi kebijakan terkait pipres 2024.
Bukan lagi rahasia, terkait adanya praktik penyeludupan hukum yang marak terjadi di negeri ini, mulai dari pemerintah pusat hingga ke kabupaten/kota, bahkan desa sekalipun. Berbagai gerakan atas nama perkumpulan atau asosiasi birokratis tidak dapat dipastikan semuanya akan bermuara pada perwujudan stabilitas pemerintah itu sendiri. Bisa jadi kehadiran perkumpulan-birokratis tersebut justru berdambak pada kegaduhan dengan tidak menyebutnya mengobral kedaulatan rakyat.
Desa dan kota, khususnya Jakarta pada berbagai sisi memang terkesan banyak perbedaan, di antaranya adalah sekitar 60% APBN berputar di Jakarta, peningkatan pasar kerja semakin meningkat di Jakarta. Berbeda halnya di desa, pasar kerja semakin menyempit, anggaran terbatas hingga sumber daya manusia pun minim. Perbedaan yang mencolok antara desa dan kota ini tidak menjadi halangan bagi pemangku kebijakan di pemerintahan pusat untuk memanfaatkan perpolitikan di desa sebagai benteng dalam memuluskan cita-cita kekuasaan mereka.
Disadari atau tidak, di tengah musim durian runtuh yang terjadi di desa masa kini dengan adanya anggaran desa atau prioritas membangun negeri dari desa, di balik itu ada politik kekeluargaan di desa yang semakin rentak dengan tidak menyebutnya hancur berkeping-keping. Dinamika politik di Jakarta kemudian menjadi patron bagi aktor-aktor politik desa. Alih-alih ingin mensejahteraan masyarakat desa, justru terperosok pada praktik kerakusan kekuasaan yang dialami pemerintah desa.
Persaingan poltik dalam pilpres 2024 tanpa disadari telah membuka semangat liberalisme politik bagi desa, tentunya hal ini harus diwaspadai agar tidak semakin memabukkan para perangkat desa. Demikian halnya dengan Jakarta, kesenjangan pembangunan terus menganga seiring politik pencitraannya yang semakin canggih. Klasifikasi kota maju, kota menengah, kota kecil, hingga status permukiman kumuh dan miskin tampak luput dari agenda politik pembangunan di Jakarta.
Kontestasi politik 2024 yang sejatinya menjadi pintu harapan dalam mempertahankan ciri kearifan Jakarta dan desa justru telah melabraknya dengan praktik politik liberal-sentralistik yang dikehendaki oleh sekelompok penguasa yang duduk manis di lingkar pemerintahan pusat. Telah terciumnya hasrat politik terkait memuluskan penambahan masa jabatan kepala desa yang juga diproyeksikan akan menjadi landasan untuk perpanjangan masa kepala daerah atau masa presiden di masa yang akan datang. Penciuman politik seperti ini mesti terus diawasi oleh publik.
Relasi sebab-akibat dalam perpolitikan harus terus dicermati secara akurat dan visioner. Praktik ada udang di balik batu tidak boleh dikesampingkan saat melihat sikap pemerintah saat ini. Terutama saat membaca hasrat politik nasional di akhir tahun 2022 dan awal tahun 2023 yang memberi sinyal jauh dari spirit negara demokratis. Sikap gotong-royong dimanipulasi, suara rakyat terbelah menjadi minorits dan mayoritas, suara rakyat pada akhirnya paradoks. Sehingga sulit membedakan mana suara rakyat yang sesungguhnya dan mana pula suara rakyat yang disusupi oleh sekelompok penguasa yang ingin mengingkari cita-cita reformasi dan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Lihat saja misalnya mencuatnya usulan pemilu proporsional tertutup yang dilakukan oleh partai penguasa hari ini. Pahami pula dominasi partai menengah yang tampak memberi karpet merah bagi penambahan masa kepala desa. Dalami pula dinamika yang dihadapi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bukankah semua usulan politik tersebut sejatinya mesti benar-benar mendapat dukungan rakyat secara menyeluruh? Atau usulan tersebut hanya dari perwakilan dari pengusa Dapil/pulau terntu? Atau sudahkan kehendak politik nasional yang ditampilkan pada 2022-2023 sudah susuai dengan kebutuhan mendasar bagi seluruh rakyat dan kondisi berdemokrasi saat ini?
Atas rentetan pertanyaan inilah, sampai detik ini tidak ada satu poros kekuasaan pun ingin mengarah untuk menemukan jawaban strategis dan empiris. Pada kondisi ini pula, sejatinya politik publik, politik kerakyatan mesti dirawat oleh perpolitikan di desa. Desa yang identik dengan kebudayaan, kebersamaan jangan sempat tercemar dengan praktik egois, liberal, pasar bebas yang bisanya terjadi di Jakarta.
Untuk menghadirkan pilpres yang jujur, adil, transparan, rahasia serta tanpa ada praktik susupan kebijakan yang nantinya dapat membajak suara rakyat dan melemahkan kedaulatan rakyat, maka praktik politik Jakarta dan desa tidak boleh disamaratakan. Kerena semua politik itu ada porsi dan tempatnya masing-masing, dan negara tidak boleh merusak tatanan kearifan politik publik demi kepentingan segerombolan penguasa di istana dan parleman saat ini.