OPINI – Presiden Joko Widodo membenarkan dan menyesalkan terjadinya 12 pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Kasus pelanggaran HAM, mulai dari yang berat hingga pelanggaran HAM yang tak muncul atau sengaja dikelamkan terus menjadi pekerjaan rumah bagi republik ini. Narasi atau upaya mengusut pelanggaran HAM sering menajam ketika memasuki masa menjelang pilpres, namun terasa tumpul saat sedang berada di puncak kekuatan kepemimpinan rezim. Terlebih saat iklim demokrasi pasca-reformasi, narasi dan gerakan soal HAM hampir tak ubahnya dengan mainan politik yang tak serius ujungnya ke mana, ia mengambang tanpa penyelesaian hukum yang pasti.
Selama kepemimpinan Joko Widodo mengendalikan Indonesia hingga dua periode (10 tahun), mengapa Jokowi di ujung masa kepemimpinannya dengan mempertegas ada 12 bentuk peanggaran HAM berat? Mengapa hasrat membongkar kasus HAM ini, baik secara non yudisial atau secara yudisial dimulai dari sebelum dan akhir masa pemerintahannya saja? Mengapa tidak terus-menerus dan serius? Atau jangan-jangan pengakuan Jokowi tersebut menjadi bola api untuk menabuh genderang politik pada pilpres 2024? Atau sebaliknya, secara tidak langsung ia sedang menyampaikan pesan simbolik atas ketidakmampuannya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
Tidak mudah untuk menjawab rentetan pertanyaan di atas, namun demikian bukan berarti pertanyaan tersebut tidak berarti. Yang jelas Indonesia hari ini harus diakui sebagai negara yang masih berada pada posisi menjadikan kasus HAM sebagai mainan politik musiman sambil menunggu jawaban dari tantangan dalam menemukan jalan yang bijaksana untuk masa depan bangsa dan negara.
Masih di masa kepemimpinan Jokowi sebagai presiden RI dua periode, tidak banyak yang menyorot ada pelanggaran HAM yang terjadi di masa kepemimpinan Jokowi. Salah satunya adalah perkara atau persolan Kilometer 50 (penembakan anggota FPI), pembunuhan di Papua hingga tragedi sepakbola Kanjuruhan. Dengan tidak menyorot dengan fokus pelanggaran HAM selain 12 bentuk pelanggaran berat yang diakui negara, secara tanpa sadar kita sedang menumpuk beban dalam penyelesaian pelanggaran HAM itu sendiri.
Ada banyak tawaran solusi terkait penyelesaian pelanggaran HAM lainnya, maupun pelanggaran HAM berat yang dimaksud. Di antaranya ada yang mengusulkan untuk menempuh jalan berdamai dengan masa lalu, menerapkan politik amnesti, pembentukan tim khusus hingga pembentukan KKR. Namun demikian, gelagat isu pelanggaran HAM tidak luntur dari praktik politisasi memasuki masa-masa kampanye politik lima tahunan. Selain isu pelanggaran HAM yang terus disulut, terkadang diselingi dengan isu PKI yang terus menghiasi panggung politik argumentatif di republik ini.
Terkesan negara tidak begitu serius menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di atas menumpuknya bukti terkait itu. Selain ada faktor keterlibatan “orang-orang penting” di dalamnya, juga faktor lemahnya politik hukum dalam mengantisipasi agar tidak terjadinya pelanggaran HAM di masa-masa sesudahnya. Pelanggaran HAM terus terjadi, baik di masa orde baru hingga masa kini. Pelanggaran HAM terus terjadi meskipun dalam bentuk yang dianggap kecil. Kecil atau berat sejatinya tetap diselesaikan jika negara ini ingin benar-benar diakui sebagai negara yang taat pada hukum.
Menyandingkan daya laju negara dan bangsa jika dicerminkan dengan potensi dan kebijakan negara saat ini, sungguh dilema ketika memahami keberadaan TNI, Polri, inteligen, tim khusus bentukan presiden, organisasi non pemerintah serta media arus utama. Semua lembaga negara dan non ngara ini juga tampak tidak sedang serius mengarah pada pengusutan tuntas terkait pelanggaran HAM. Barangkali pilihannya adalah berdamai dengan masa lalu, merawat ingatan hingga mengambil pelajaran agar tidak terulang kembali adalah pilihan yang terpaksa untuk di tempuh.
Ironisnya, pilihan-pilihan penyelesaian tersebut lagi-lagi menemukan kerumitannya sendiri ketika narasi pelanggaran HAM terus masuk ke dalam lingkar narasi politik jangka pendek dan praqmatis. Keberpihakan pada keadilan hukum tampak kurang diprioritaskan oleh penyelenggara negara. Praktik lips service justru lebih mendominasi dari pada kinerja nyata terkait penyelesaian pelanggaran HAM.
Dengan praktik demokrasi di Indonesia yang saat ini sedang babakbelur, mulai dari sistem politiknya hingga pada persoalan korupsi yang terus mengakar kuat. Dalam konteks ini, siapa yang mampu menjamin intergritas, profesionalitas dan kredibelitas suatu lembaga yang nantinya juga diberikan tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di negeri ini?
Hal ini dapat diambil contoh kecilnya pada pelaksanaan atau keberadaan KKR Aceh yang kini sedang menjalani pemeriksaan dari pihak yang berwajib. Siapa yang dapat menjamin bahwa keberadaan KKR Aceh tersebut bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme pada saat ingin mengurangi beban negara terhadap dosa masa lalunya?
Dalam konteks ini pula sejatinya semua aspek terkait pelanggaran HAM di Indonesia tidak menjadi bahan politisasi politik lima tahunan, melainkan terus berjuang untuk membuktikan sejauhmana negara ini mampu melewati tantangan dari bebannya yang bernama “Pelanggaran HAM” yang terus menghantui. Barangkali ini akan terus menjadi warisan politik dari masa ke masa sepanjang Indonesia masi ada.