Beranda Opini

Harapan-Harapan Politis

Oleh Zulfata, Direktur Kartika Cendekia Nusantara (KCN). Tinggal di Jakarta Selatan

Opini – Harapan mesti terus dihidupkan, impian, semangat, evaluasi, memcoba ulang, pantang mundur hingga pembaharuan berkelanjutan sering kali dijadikan proses merawat setiap harapan. Berbagai agenda pemajuan, pembangunan hingga kesejahteraan rakyat tidak lepas dari penguatan politik harapan. Politik harapan terkadang dapat menjadi penyulut untuk melepaskan diri dari kebuntuan dan kekakuan politik publik. Melampaui itu, prakis politik harapan sering kali menjadikan kalangan atau poros politik elite selalu berada di posisi menang banyak, dengan tidak menyebutnya berhasil berkali-kali mengelabui rakyat.

Benar memang hidup tanpa harapan ibarat mati suri, demikian halnya berproses dalam perkembangan politik di negeri ini. Harapan-harapan yang ditaburkan terkadang dapat berubah menjadi jebakan yang membuat manusia tak ada ubahnya dengan keledai. Atas memaknai pendulum harapan sedemikianlah menarik sejatinya kita mengulik apa yang dimaksud dengan harapan-harapan politis yang penulis maksud.

Sebagai pengembangan dari politik harapan, harapan politis ini dapat dijadikan alat analisis pikir ulang atau lebih memahami politik harapan secara berhati-hati dan penuh niali akurasi. Publik mesti memiliki kecapakan untuk tidak terjebak pada manisnya godaan politik harapan yang seolah-olah tidak memiliki efek samping. Kesadaran dari harapan-harapan politis ini senantiasa menjadikan publik tidak akan tejebak di jurang politik yang sama. Harapan memang benar harus dinyalakan, tetapi harapan tidak bisa dirawat tanpa ada progres kebenaran dan pembuktian.

Baca juga :  Generasi Milenial Optimalisasi Kemajuan DigitalĀ 

Harapan-harapan politis akan memberikan cerminan bahwa setiap harapan yang ditaburkan mesti ditelaah, dipelajari serta dirasionalkan dengan penuh kematangan. Harapan politis masih bersifat dinamis, bisa jadi ia akan mendatangkan kebaikan, bisa jadi pula ia akan menciptakan bahkan mengulang keburukan. Dalam berdedomkrasi dalam konteks negara dan bangsa, rakyat selalu menjadi korban harapan palsu. Rakyat cenderung dipaksa untuk membuka lembaran baru atas nama harapan yang dikemas ulang dengan tidak ingin belajar dari petaka harapan masa sebelumnya yang pernah ditaburkan. Untuk itu, kasadaran harapan politik setidaknya mengingatkan kita bahwa harapan itu tidak selalu berlaku maju, tetapi juga harus dikonfirmasi dari masa lalu, masa kini dan prospek masa yang akan datang.

Mencermati tren penaburan harapan-harapan politis di Indonesia memang tidak pernah berhanti, terlebih musim politik di Indonesia tidak pernah padam meskipun agenda politik dianggap dalam jangka lima tahunan. Melampaui dari kesadaran itu sejatinya posisi rakyat dalam menerima harapan yang diorder oleh negara cenderung tidak mampu mendongkrak kepercayaan rakyat terhadap negara secara signifikan seiring bertambahnya usia negara, baik itu kepercayaan kepada institusi negara yang strategis maupun pada institusi rakyat yang dibentuk secara alternatif.

Baca juga :  Milenial: Antara Petani dan Politsi

Keberadaan surplus harapan-harapan yang terjadi di Indonesia patut diapresiasi. Ini menandakan bahwa optimisme dalam bernegara dan berbangsa masih kuat. Demikian halnya dengan adanya gejala ketidakpercayaan dan lebih mengedepankan sikap kritis-kehati-hatian juga merupakan bagian dari adanya tren pada peningkatan spirit pencerdasan publik. Dari dua sisi cara pandang ini kita dapat menarik benang merah bahwa publik mesti dibekali untuk mampu memilih dan memilah setiap harapan yang diproduksikan oleh negara, khususnya diproduksikan oleh penguasa yang kini sulit dibedakan antara mana oligarki, birokasi, partai politik hingga pengadilan sekalipun.

Di Indonesia, disadari atau tidak, setiap agenda kerja politik yang turun dari kancah nasional telah mampu bekerja dengan canggih melampaui logika kerakyatan, apakah itu turum melalui program kerja pemerintahan, korporasi, hingga gerakan relawan/swadaya masyarakat. Politik pemerintahan pusat yang silih berganti dari rezim ke rezim telah benar-benar kuat meskipun sempat goyang pada titik momen tertentu. Tanpa menyebut politik negara akan selalu menang melalui prangkat politiknya yang masif serta laten, tetapi justru semakin tampak kenyataan ketika tidak ada lagi solidaritas kerakyatan yang terpadu secara nasional dari masa ke masa, keterpaduan itu telah terjapling-kapling, terpisah, bersporadis liar tanpa kesamaan arah atas nama bangsa Indonesia. Semua simpul gerakan rakyat telah diisi dengan tidak menyebutnya mendapat investasi politik dari penguasa.

Baca juga :  Ada yang berbeda Tahun ini, Usai Pelantikan KPPS, Dilaksanakan Penanaman Pohon secara Serentak, di Sekitar TPS

Politik negara, dalam konteks penguasa yang berada di balik pemerintah telah mampu membaca masa depan kekuatan rakyat. Mulai dari persoalan politik, ekonomi, pangan, keadilan hingga kesehatan anak bangsa. Ironinya, visioner dalam melihat dan merekayasa kelemahan kekuatan rakyat justru telah dikantongi penguanga dengan berbagai bentuk kerjasama politiknya. Apakah itu level daerah, nasional maupun internasional.

Atas realitas politik keindonesiaan sedemikian, harapan itu memang terus dirawat, harapan memang terus dijadikan pijakan untuk melentingkan diri agar lebih maju dan berkembang, tetapi tidak setiap harapan harus ditelan mentah-mentah. Terkadang, setiap harapan diciptakan juga untuk asesoris topeng palsu, komunikasi janji untuk diingkari. Apapun kalimat politis yang diwarnai dalam jagat raya menuju pilpres 2024, apakah itu mengumandangkan pembaharuan, perubahan, melanjutkan, pembenahan, hingga kesejahteraan rakyat. Semua kalimat ini mensti disaring dengan kesadaran harapan-harapan politis. Paling tidak dengan pola pikir seperti ini dapat memberi nilai dorong bagi publik untuk tidak dikecewakan untuk entah kesekian kalinya.