Tulisan disampaikan pada Intermediate Training Tingkat Nasional HMI Korkom UIN STS Jambi, 10 Februari 2023
Pelita.co – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah memasuki umur 76 Tahun. Mencermati perkembangan HMI dari masa ke masa, sulit membantah bahwa HMI masa kini telah terjun bebas, terasa semakin jauh dari tujuannya, barangkali tepatnya “mati suri”. Tolak ukurnya dapat dicerminkan melalui kontekstualisasi dari lima kualitas insan cita (KIC) dan realisasi keislaman dan keindonesiaannya saat ini. Tanpa mengulik begitu jauh dan mendalam terkait “kutukan” ke-HMI-an masa kini (baca buku Bubarkan HMI?), dengan keterbatasan ruang dan waktu, penulis berusaha untuk menguraikan makna dari judul tulisan ini.
Berangkat dari tema yang diberikan panitia yaitu “Wajah Baru HMI dengan Menulis”. Penting untuk kita jawab bersama-sama adalah sebenarnya bagaimana bentuk wajah HMI saat ini? Barangkali ada yang menyebutkan bahwa wajah HMI masa kini di antaranya: nafsu besar tenaga kurang, lain yang diucapkan lain pula diperbuat, dinda demo kanda negosiasi, tinggi diskusi namun minim literasi, terperosok ke jurang politik praktis, mulut manusiawi perbuatan iblis, memberhalakan senioritas, salah kaprah, dualisme, suka klaim kemenangan, manipulatif, primordialisme, premanisme, transaksional, teman makan teman, materialistik, hedonis, pragmatis, lips service, normatif, tidak produktif dan seterusnya.
Jika diizinkan penulis untuk menduga-duga, dari materi yang diberikan oleh panitia ini terkesan ada suatu harapan bahwa akan ada terciptanya wajah baru di HMI melalui peran para lulusan training di forum LK-2 ini nantinya. Harapan itu tampak ingin fokus dilentingkan melalui sektor kemampuan menulis. Sebagai seorang yang ingin berbagi dengan para peserta yang penulis anggap sebagai calon-calon pemimpin bangsa ke depan, bukan pembual bangsa saat ini dan kemudian hari, sejatinya bagaimanakah dampak dari kemampuan menulis tersebut? Sehingga menulis dijadikan hipotesa dalam mendorong adanya wajah baru di HMI.
Sebelum kita bersam-sama menemukan jawaban yang diselipkan melalui pertanyaan pada judul tulisan ini. Ada baiknya kita sedikit mengulang beberapa tafsiran bebas dari beberapa penulis berpengaruh di dunia. Tanpa menyebutkan nama penulisnya, ada yang menyebutkan bahwa menulis/tulisan lebih berbahaya dari dari pada peluru. Jika peluru dapat menempus satu kepala, tetapi dengan tulisan dapat menembus ribuan kepala. Ada juga yang menyatakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Menulis adalah jalan pintas menuju kemerdekaan. Seterusnya, jika kamu bukan anak raja, bukan anak ulama, bukan anak orang kaya, maka menulislah. Dan seterusnya masih banyak tafsiran bebas atau kutipan yang penting terus kita gali manknanya dari berbagai penulis/tulisan yang berpengaruh di dunia.
Yang jelas, jika kita cermati para pendiri bangsa di republik ini, semuanya dapat dipastikan melalui tulisannya, atau jika tulisannya hilang atau dihilangkan, kemudian ditulis ulang oleh penulis generasi selanjutnya agar dapat dibaca oleh lintas generasi. Secara umum proses untuk menulis bukanlah seperti memasak kue yang langsung bisa jadi ketika dimasukkan dalam lemari memasak. Bukan pula seperti membeli barang secara online yang langsung didapat setelah rebahan atau mager. Jauh dari itu, menulis adalah akumulasi berbagai hal yang kemudian memperoleh kecakapan dalam menuangkan gagasan/fakta/pengalaman dan lainnya ke dalam bentuk tulisan-produk-perbuatan-pencapaian.
Demikian pula ihwalnya dengan HMI, sebelum HMI dikenal sebagai organisasi produktif dalam mencetak politisi, mafia bahkan aktor jaringan KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Meski bagaimanapun pada fase-fase tertentu HMI identik dengan para penulis berpengaruh pada masanya, bahkan masih berpengaruh pada masa kini dan kemudian hari. Sebut saja tokoh bukan sekadar sebagai penulis yang tergembleng dengan matang melalui HMI tersebut adalah Sulastomo dan Cak Nur, apakah yang lain tidak ada? silakan peserta sebutkan saja lanjutannya sebagai pengayaan khazanah.
Jika mencermati pergerakan Sulastomo dan Cak Nur, sungguh kecil kemungkinan bahwa mereka awalnya bercita-cita ingin jadi penulis terkenal. Justru yang terjadi adalah kecenderungan mereka menulis adalah untuk menebarkan gagasan produktif sebagai hasil dari proses kemerdekaan berfikir dan bertindak di masa mereka masih hidup. Tentu dalam tebakan saya bahwa mereka secara tidak langsung telah mengetahui manfaat ketika mereka menulis untuk umat, bangsa dan negara. Kemampuan menulis mereka telah mengabadikan mereka sebagai orang berkarakter visioner dan militan dalam menopang perdaban Islam, Indonesia dan dunia.
Fokus ke topik pembahasan, akankah HMI masa kini dapat merubah wajah barunya dengan menulis? Tentu jawabannya terletak di pundak seluruh kader HMI saat ini, bukan pada kader HMI-HMI-an. Benar bahwa HMI tujuannya bukan mencetak penulis atau melatih/mengkaderkan manusia-manusa mahir menulis, tetapi menulis diakui atau tidak sangat berpengaruh bagi peradaban, bagi kekuasaan, bagi karir, bagi organisasi, bagi pembuktian kredibelitas dan akuntabilitas, juga termasuk berpengaruh bagi isi tas.
Saya berpendapat, dengan pengalaman saya yang seumur jagung di HMI, mulai pernah menjadi kepala BPL HMI Cabang Banda Aceh, hingga masuk dalam menyaksian permaianan pasar gelap pada beberapa Kongres PB HMI. Sejatinya kader HMI tidak memahami ihwal menulis atau kekuatan menulis dalam makna yang sempit. Sebab menulis tidak bisa dianggap sebagai satu profesi tunggal. Kekuatan menulis tidak boleh dianggap tidak dapat mempengaruhi kebijakan pusaran kekuasaan. Tetapi menulis atau kekuatan menulis juga dapat dianggap sebagai peluru, sebagai parle (vocal) layaknya parlemen, sebagai bentuk pergerakan, sebagai perekat keumatan dan konsolidasi, sebagai alat pencerah hingga sebagai alat perang dalam membongkar berbagai bentuk kezaliman dan ketidakadilan dalam bermasyarakat, beragama dan bernegara.
Demikian halnya saat kita hendak menilai bagaimanakah kekuatan menulis terebut? Kunci jawabannya adalah kekuatan menulis juga dapat mengguncang kekuasaan. Buktinya, telah dipraktikkan oleh para pendiri bangsa kita pada orde lama yang menyebar tulisan-tulisannya di berbagai media revolusi dan kemerdekaan Indonesia.
Secara dalam ruang lingkup kecil saja misalnya, menulis dapat mendorog kita sebagai manusia pembelajar, dengan terus berlatih menulis akan menuntuk kita untuk mampu berfikir kritis, bercakrawala luas, tidak jumud, tidak diperbudakkan oleh klaim-klaim kanda. Menulis mampu menjadikan kita sebagai manusia yang kreatif dan merdeka sebagai manusia. Menulis akan dapat membebaskan segala bentuk pembaruan pembodohan yang dilakukan oleh lembaga atau sosok yang mengatasnamakan pendidikan/pendidik hari ini. Pada akhirnya makna menulis yang kita maksudkan dalam konteks ini adalah menulis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Lantas bagaimana kita mampu memiliki kekuatan menulis seperti yang disinggung di atas? Kunci jawabannya adalah jangan pernah berhenti berlatih menulis. Soal kekuatan tulisan itu menurut para filosof akan ditentukan oleh waktu dalam kematangan saat terus serius menekuni aktivitas menulis. Lantas dengan berbagai alat teknologi super canggih hari ini tidak mendorong kader HMI untuk kuat dalam menulis?
Apakah menulis saja cukup? Tentu jawabannya tidak. Bagi kader HMI, sejatinya tidak hanya mampu mendongkrak kemampuan menulis terhadap kadernya, tetapi juga harus mampu mengangkat minat baca publik. Pertanyaan lanjutannya adalah bagaimananah nasib minat baca kader HMI masa kini? Sementara dalam skala nasional rakyat Indonesia minim minat baca, perbandingannya di posisi 1: 1000. Satu orang gemar membaca dan 1000 orang tidak gemar membaca. Bagaimana di internal HMI? berapakah perbandingannya kira-kira?
Dipersingkat saja tulisan ini, langsung berusaha untuk menjawab pertanyaan apakah wajah HMI dapat berubah dengan menulis? Jawabnnya adalah dapat merubah wajah HMI yang lebih baik, dan dapat pula membuat wajah HMI semakin parah dari penampakan HMI masa kini, lihat saja gelagat PB HMI, pahami saja cabang HMI skala nasional? Wajah HMI dapat berubah dengan menulis jika kader HMI saat ini memiliki kultur literasi yang kuat. Tidak sekadar memaknai literasi sebagai aktivitas baca, tulis dan menerbitkan buku semata.
Melampaui dari itu adalah berliterasi yang mampu menciptakan kader HMI yang mampu bertahan dalam mengarungi badai-ombak kehidupan dalam mengembankan tanggung jawab keislaman dan keindonesiaannya. Sebaliknya, wajah HMI dapat makin parah ketika kader HMI hanya menjadikan kemampuan menulisnya hanya untuk mementingkan diri sendiri tanpa ada kepekaan sosial dan tanngung jawab dalam mengemban amanah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Perjuangan masih panjang dinda!
Untuk itu? marilah kita berdiskusi, dan tentukan pilihan sikapmu dalam ber-HMI ke depannya.