OPINI – Melihat Jakarta tidak bisa saja dari sisi menterengnya, kemegahan tower towernya, hingga banyaknya ruang rekrutmen tenaga kerja. Jakarta sebagai kota metropolitan tidak ada yang membantah. Demikian halnya Jakarta juga tidak bisa dibantah sebagai kota lendmark kesenjangan sosial di tanah air. Barangkali saat kita memahami Jakarta tidak boleh luput dari sisi sosio-kultural yang terjadi di dalamnya. Jakarta memang kota kaya, kaya sumber ekonominya, kaya sumber daya manusianya jika dibandingkan dengan daerah lainnya di tanah air, namun kondisi kayanya Jakarta sedemikian justru menjadikan Jakarta identik dengan Jakarta miskin. Inilah yang kemudian disebut bahwa Jakarta kaya tetapi miskin.
Tanpa mengacu kepada data kemiskinan dari BPS, potret kemiskinan Jakarta dapat langsung di saksikan melalui keberadaan kawasan kumis (kumuh dan miskin), padat hunian penduduk di pinggiran sungai Ciliwung, masyarakat miskin kota, hingga manusia tanpa rumah yang layak sebagai manusia Indonesia. Kehebatan kota Jakarta belum sanggup mengeluarkan jurus jitu dalam menata dan menyelesaikan potret kemiskinan tersebut.
Jika pada umumnya melihat kemiskinan dari dua sisi antara kemiskinan secara struktur dan kultur.
Dibalik itu juga boleh melihat cerminan kayanya Jakarta untuk menemukan problem kemiskinannya. Secara spritual, Jakarta miskin kejujuran, miskin kepercayaan, miskin keadilan, miskin pelayanan kerakyatan hingga miskin perikemanusiaan. Sehingga Jakarta dapat juga disebut sebagai kota paling kejam di Indonesia, kekejamannya ini barangkali diakibatkan karena jika tidak punya kemampuan atau nyali lebih (human capital), jangan sekali-kali tinggal atau menetap di Jakarta.
Meskipun warga Jakarta menjadi miskin karena dampak inflasi akibat harga naik, mulai dari BBM, beras, telur, minyak goreng, cabai merah dan seterusnya. Bukanlah satu-satunyan bukti bahwa Jakarta itu kaya tetapi miskin. Dalam konteks ini, kajian Jakarta kaya tetapi miskin tidak bertujuan untuk menyebutkan Jakarta adalah kota gagal, melainkan ingin menggiring pembaca bahwa Jakarta bukanlah bentuk kota keteladanan kesejahteraan rakyat. Jakarta adalah kota kejayaan bagi kaum oligarki. Ada banyak kolaborasi intim antara gologan komunal dan kapitalis di sini, atau bisa jadi Jakarta adalah contoh dari bentuk sentralisasi politik dan ekonomi yang menjadikan kebijakan terkait kesejahteraan tidak bisa merata di seluruh kota di Indonesia.
Ada banyak permainan akrobatik kebijakan yang seolah olah untuk kesejahteraan rakyat yang dipraktikkan di Jakarta. Monopoli kebijakan pengentasan kemiskinan sulit dihindari, hingga rekayasa pembangunan terus meningkat meskipun yang dibangun bukan kesejahteraan, melainkan untuk melipat-gandakan kekayaan pemilik modal yang bersembunyi di belakang pemegang palu kebijakan. Bukankan ini bentuk penjajahan motif terbarukan yang sedang dinikmati oleh elite Jakarta hari ini?
Kebijakan terkait perlindungan sosial juga tidak lepas dari peran monopoli. Begitu juga dengan wujud perlindungan negara tidak pernah ampuh dalam mengontrol daya laju tatakebijakan di Jakarta. Pasar bebas terus terbuka lebar, pelaku usaha kecil selalu ditikam oleh pelaku usaha bermodal besar, kekuatan pemerintah atau negara tak bernyali mengendalikan tatatan kebijakan yang bernar-benar pro rakyat. Jakarta hidup dan tampil sebagai ibu kota tanpa pengendalian utuh dari negara. Jakarta menjadi ibu kota yang egois, sukses mengelabui bahwa kota Jakarta adalah potret kemajuan Indonesia.
Jakarta memang tampak menggoda di permukaan, tampak menawan bagi warga pinggiran, tetapi ada kalanya publik tak boleh terkecoh dari penampakan Jakarta itu. Jakarta yang pernah dibangun dengan anggaran perjudian dan lokalisasi prostitusi, hingga Jakarta dikuasai melalui serangan pada sosok yang disebut melakukan pencemaran agama mayoritas di Jakarta.
Dengan mencermati poses transformasi kepemimpinan nasional di Jakarta akan terus menggiring kita dewasa dalam berfikir, lapang dada menerima kenyataan, hingga sikap tidak terus bergantung pada pemerintah. Semakin dalam mencermati komposisi kekuasaan di Jakarta akan semakin menemukan betapa paradoksnya kota ini dari cita-cita pembentukan awalnya sebagai pusat ibu kota.
Kini, dengan iklim demokrasi digital yang terus dihiasi oleh hoaks, sentimen, polarisasi politik identitas murahan, mengelola konflik keberagaman antar anak bangsa namun mempertuan agungkan kepentingan negara lain atas kepentingan rakyat sendiri, hingga merawat para buzzer yang tampak kebal hukum.
Jakarta tak lagi elok sebagai kota panutan untuk mendulang kedamaian, kemakmuran dan kesejahteraan bagi daerah lain di tanah air. Sebab Jakarta telah menampakkan cara kerjanya sendiri sebagai kota yang bukan untuk ditiru, melaikan sebagai kota untuk pementasan tarung bebas dalam mengangkat harkat martabat manusia yang jauh dari apa yang tertuang dalam lima butir Pancasila. Salah satunya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jakarta tampak tak sejalan dengan itu.