Beranda Opini

Kampus: Dari Korupsi ke Joki

Oleh Zulfata Direktur Kartika Cendekia Nusantara (KCN), Jakarta Selatan. (Dok.Ist)

Pelita.co – Dunia akademik kampus kembali mendapat sorotan tajam atas perilaku amoralnya di hadapan publik. Tidak jarang media arus utama (Kompas) meliput hasil investigasinya terkait bobroknya perilaku pejabat struktural di kampus, mulai dari mahasiswa, dosen hingga profesor. Dunia kampus saat ini yang belum selesai membersihkan citranya sebagai ladang “mencuri” bagi kalangan profesor, doktor, magister bahkan mahasiswa itu sendiri, atau pejabat kampus yang mempraktikkan korupsi atas atas nama pendidikan nasional. Kini semakin mencuat pula praktik perjokian di kampus. Adakah jurus jitu membenahi kondisi buruk kampus di Indonesia sedemikian sementara sistemnya telah terstruktur dan massif? Lagi-lagi soal rancangan sistem di perguruan tinggi.

Alih-alih mencerdeaskan kehidupan rakyat dan bangsa, keberadaan kampus kini telah mejadi rahasia umum bahwa ada permainan yang tak jauh beda dengan partai politik (parpol) dalam memenangkan pilpres. Ada proses transaksi jabatan di sana, ada “perbudakan akademik” di dalamnya, ada tim khusus (buzzer) akademik, hingga praktik “haram” seperti mencomot karya ilmiah orang lain.
Tulisan ini terkesan sinis dan keras, tetapi semua itu adalah kenyataan yang barangkali tidak perlu dibuktikan secara detail. Sebab proses pembuktian kebenaran di Indonesia masa sekarang mungkin belum masanya tiba.

Jika fenomena keadilan yang melibatkan kasus Ferdy Sambo telah menyayat rasa keadilan itu sendiri, justru di dunia kampus masih jauh dari kata keadilan bagi kampus itu sendiri, belum lagi keadilan bagi seluruh mahasiswa dan pejabat di dalamnya. Kapitalisme akademik, pembiaran pembelengguan akademik, hingga pembungkaman akdemik melalui jabatan struktural hampir menjadi kultur di perguruan tinggi masa kini. Kampus semakin hari terasa sedang menelanjangi dirinya sendiri.

Baca juga :  Anggota DPRD Tangerang Silahturahmi ke PAC PDI-P Kecamatan Kemiri

Perguruan tinggi yang dimaksud di sini tidak saja di sektor swasta, melainkan juga di sektor kampus negeri, apakah itu yang berlebel Islam hingga atau apapun lebelnya. Kampus yang sejatinya identik dengan kedaulatan risetnya, tanpa disadari kini telah menjadi semacam institusi orderan riset bagi kepentingan penguasa yang mengarah pada pelemahan kedaulatan rakyat. Lihat saja siapa aktor-aktor yang merusak nilai demokrasi melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tertentu yang lagi hangat saat ini, siapa yang terkesan pasang badan di ketiak cukong dan politisi murahan di parlemen? Pasti jawabannya yang bergelar profesor bersinggungan kuat dengan teks ini. Bahkan yang paling parahnya adalah kampus dapat dikendalikan untuk membungkam aksi massa para mahasiswa. Sebagai dispensasinya, tidak jarak rektor mengincar kursi-kursi komisaris di anak/cucu/cicitnya Badan Usaham Milik Negara (BUMN).

Temuan berbegai investasi amoral akdemik di kampus cenderung tumpul oleh riset internal kampus, namun hasil ketajaman riset di luar kampus mengambang begitu saja tanpa ada tindak lanjut ke bawah sebagai perbaikan akut dan berkelanjutan. Kampus, baik yang berada di pusat kota besar hingga daerah terpebcil memiliki dinamikanya masing-masing, namun perbedaan dinamika tersebut memiliki titik temu dan irisan dengan yang namanya praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).

Baca juga :  Keberpihakan pada Pasar Tradisional

Tidak terhenti di situ, kompromi anggaran pemerintah dan kampus tertentu dalam mengelabui uang rakyat juga masih penampakan biasa saja di Indonesia. Kampus masih jauh dari kata independen, kampus masih jauh dengan yang namanya mendongkrak literasi publik dengan dengan karya tulisnya. Sehingga fakta ini tidak keliru jika menyebutkan bahwa peran sejatinya kampus telah diambang kehancuran, dengan tidak menyebutnya telah punah.

Upaya pelemahan kekuatan intelektual kerakyatan dari kampus jika ditelusuri melalui sistem akreditasi melalui praktik kapitalisasi penerbitan karya standar internasional, kemudian ditopang melalui sistem politik kementerian yang berusaha memanfaatkan kampus untuk memperkuat isu-isu atau kepentingan penguasa yang tak sejalan dengan kehendak rakyat demi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Berbagai dalih dan pembenaran ilmiahnya diproduksikan tanpa henti melalui kampus, kampus terasa tidak lagi menjadi anak kandung rakyat, ia secara bertahap dan pasti mengarah pada semacam institusi pabrik dalam menyikapi manusia-manusia.Belum lagi terkait karya internal kampus berakhir pada tempat pembuangan sampah, atau pembungkus gorengan di pinggir jalan.

Tumpulnya keasadaran kampus dalam membersihkan kotoran pada dirinya semakin diciptakan oleh kalangan ilmuan yang berkacamata kuda, ilusi seakan banyak ilmu, seolah-olah hanya kalangan internal kampus saja yang dapat bersikap profesional dan independen. Sejarah perguruan tinggi, beserta yang pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi mesti menumbuhkan kepekaan dan kesadaran serta tanggung jawab untuk berani melepaskan kutukan kampus yang sedemikan.

Baca juga :  Dulu Senior di Partai Berlambang Pohon Beringin, Kini Beralih Ke Partai Bulan Bintang

Merawat kebaikan citra kampus sama sulitnya dengan melepaskan keburukan terkait kampus, bukan saja maraknya praktik korupsi dan Joki, kasus pelecehan seksual dan terorisme pun dapat bersarang kuat di kampus. Belum lagi persoalan menuhankan jabatan dengan memanfaatkan anak didiknya untuk kepentingan praqmatis para atasan. Budaya yang sebenar-benarnya kampus saat ini hampir sulit dibedakan dengan budaya otoriter, primordial, kerajaan, bisnis, hingga birokrat berpikiran picik dan bermulut malaikat.

Cita-cita bapak pendidikan bangsa Indonesia semakin hari semakin jauh penerapannya ke dalam kampus secara institusi untuk memerdekakan rakyat dari segala bentuk pembodohan, baik pembodohan oleh minimnya literasi secara universal, hingga pembodohan oleh birokrasi itu sendiri. Dari cacatan yang tidak dianggap ilmiah ini pula penulis mengajak semua kita untuk terus berjuang mengatakan yang benar tetap benar meskipun itu pahit.

Toh, tak selamanya yang pahit itu akan merusak kita. Demikian pula dengan membiarkan begitu saja dengan bertambah kuatnya praktik korupsi dan Joki di kampus masa kini, justru akan menjadi bom waktu yang kemudian akan merusak generasi bangsa di kemudian hari. Ingat, perjuangan pencerdasan publik di negeri ini masih berada di jalan yang terjal, berkerikil tajam bahkan sesekali memuakkan.