Beranda Opini

Literasi, Media dan Kesejahteraan

Oleh Zulfata, Direktur Kartika Cendekia Nusantara (KCN), Tebet, Jakarta Selatan

OPINI – Tiga suku kata yang diramu jadi judul tulisan ini tidak pernah usang dengan gejolak zaman apapun, baik dari zaman kolonial klasik hingga kolonial gaya terbaru, baik dari era manual hingga ke era teknologi supra-canggih. Literasi, media dan kesejahteraan dapat dimaknai sebagai tiga penyangga multistabilitas, stabilitas politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.

Mengapa bisa demikian? Jika mengacu pada gerak peradaban dari masa ke masa pada suatu negara, menggenjot literasi publik tidaklah boleh terhenti. Berhentinya daya ledak literasi publik meniscayakan adanya petaka sosial yang terus berkesinamungan. Kemiskinan dan pembodohan akan terus beternak dirinya hingga akan terus memperkuat kultur predator dan manipulator dalam berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks ini literasi dimaknai bukan sekadar upaya untuk mencari informasi dari alam terkembang, bukan sedakar melentingkan daya baca, bukan pula sebatas aktivitas tulis menulis, bahkan bukan hanya produktif dalam menciptakan karya. Jauh dari itu, esensi literasi adalah upaya sistemik dari personal maupun kolektif untuk mampu mensiasati berbagai tantangan kehidupan sehingga tidak berada dalam alam kejumudan, kemiskinan, manipulasi, hingga tidak terperangkap pada semangat pendidikan publik yang terus membelanggu kebenaran dan keadilan.

Literasi selalu menjadi hulu dalam hal pemantapan program pembangunan sumber daya manusia. Dipandang rendah literasi publik jika maraknya pertumbuhan perguruan tinggi namun meninggkatnya sandiwara kampus dihadapan penguasa. Program kampus sebagai perpanjangan penguasa, kampus kehilangan marwahnya. Dipandang rendahnya daya literasi jika para terdidik dan pendidik membungkamkan diri dihadapan penguasa.

Baca juga :  Antara Jokowi dan Prabowo

Dipandang rendah literasi juga karena gagalnya berbagai aksi penolakan rakyat atas hadirnya produk peraturan yang tidak sesuai dengan asas kemaslahatan rakyat. Dipandang rendah juga literasi ketika aktivitas kemanusiaan dapat dipermainkan oleh perangkat lunak dan keras dari algoritma. Sehingga gelagat perkembangan media saat ini dapat dijadikan sebagai alat potret dalam menilai efektif atau tidaknya arus literasi dalam suatu negara.

Sederhananya, literasi sangat erat kaitannya dengan nasib umat manusia, sebab literasi sejatinya untuk mengangkat harkat dan martabat umat manusia. Bukan sebaliknya yang justru mempermaikan sesama manusia dan kemudian membuka siklus kesengsaraan manusia. Kondisi ini dapat dicerminkan dengan perkembangan media yang begitu pesat saat ini (Tsunami Informasi). Perkembangan media tersebut bukan sekadar adanya pembelahan bentuk media, dari media arus utama, media online, media cetak hingga soal media rahasia khusus milik pemerintah.

Kelanjutan dari perkembangan media tersebut bukan saja dari perangkat dan ragam, tetapi juga para pelaku media, narasi dan peruntukannya. Memahami sejarah bangsa Indonesia, pada awalnya media pernah dijadikan sebagai alat perjuangan rakyat dalam meraih kemerdekaan. Ada propaganda kemerdekaan rakyat melalui media. Ada perlawanan terhadap penjajah melalui media yang disiasati oleh rakyat dengan dipimpin oleh para pendiri bangsa di republik ini.

Ternyata seiring dengan perkembangan zaman, dunia telah menampakkan cara kerjanya sendiri bahwa tidak selamnya yang pernah terjadi akan selalu seperti itu. Tidak selamanya yang pernah dilakukan akan terus berlanjut seperti masa lalu. Tidak semua kejadian masa lalu dijadikan pelajaran untuk hari ini. Kini media telah menampilkan dirinya secara terang benderang bahwa ia adalah sebuah korporasi, semacam pabrik yang mampu mengolah berbagai kepentingan yang kemudian berkahir pada negosiasi laba dan rugi.

Baca juga :  Milenial: Antara Petani dan Politsi

Diakui atau tidak, apakah itu media arus utama, media abal-abal, media partisan, kiblatnya kini tampak sedang mengarah rapuhnya tempat ia bergantung. Meski masa orde baru ada media yang sengaja dimatikan, tetapi setelah orde baru lenyap, ternyata ekosistem media mendapat musuh lyang ebih kejam, yaitu “kuasa algoritma” yang kemudian menjadikan media cetak tampak makin babak belur.

Hari ini kita sudah menyaksikan betapa banyaknya media mengalami runtuh dan tumbuh baru secara silih berganti. Perkembangan media berkembang ke arah yang semakin oligark, pasar bebas dan kemudian dibalut dengan narasi pembenaran. Dominasi kuasa lebih mengobarkan lajunya media. Sehingga perang narasi antar media justru menyesakkan informasi yang mencerahkan publik hari ini.
Dengan konsisi literasi dan media seperti disentil di atas, apakah kesejahteraan rakyat akan betul-betul berdampak dari kualitas literasi dan media di masa kini? Meski media dan daya literasi publik pada dasarnya diyakini mampu mengawal atau mengingatkan penguasa untuk mampu melihat corong kesejahteraan rakyat secara berimbang dan jernih. Namun pada kenyataannya spirit literasi dan media saat ini lebih dominan pada kendali pemilik modal. Jika ingin berliterasi secara matang sangat dipengaruhi oleh seberapa kuatnya modal. Demikian halnya dengan media.

Baca juga :  Pembajakan Kesejahteraan Rakyat

Atas kondisi inilah sejatinya negara harus mengambil peran penting dengan segala kekuatan yang melekat padanya. Melalui tangan-tangan pemerintah sebagai pemangku amanah untuk berkuasa atas rakyat dan perangkat negara, tidak elok untuk menciptakan perkembangan literasi dalam negeri yang justru menampakkan rakyat masih jauh dari kata sejahtera, termasuk dalam hal sejahtera dalam belajar dan bekerja. Barangkali di Indonesia saat ini butuh kerja ekstra untuk mengambalikan spirit literasi dan media yang mampu meningkatkan martabat rakyat dan negara.

Problem ketidakjelasan arah literasi dan media akan terus melempar kesejahteraan semakin jauh dari kenyataan rakyat. Hasilnya, literasi akan terus diarahkan padah pembodohan publik, terus-tersusan dipola untuk menjadi manusia buruh di tanah miliknya sendiri. Menjadi penonton atas kekayaan alamnya sendiri. Demikian halnya dengan media, bahkan ia akan dijadikan sebagai alat tempur dalam mencapai misi penimbunan kuasa dan kekayaan, baik itu berupa mencuci otak publik dalam berbagai strategi persuasifnya maupun dalam bentuk maksud investasi yang mendalangi suatu media.

Lantas bagaimana menguraikan semua ini agar benar-benar mencapai jalan puncak dalam mencerdaskan kehidupan bangsa? Sungguh mengurus negara hari ini tidak bisa sekadar mengandalkan optimis dan harapan belaka tanpa ada solidaritas secara berbudi luhur di antara rakyat dan penguasa.