Beranda Opini

MEMBONGKAR POLITIK KEINDONESIAAN PRABOWO

Oleh Zulfata, Direktur Kartika Cendekia Nusantara (KCN), Tebet, Jakarta Selatan

OPINI – “Saya percaya , ajining diri saka pucuke lathi, aji ning raga saka busana. Harga diri seorang terletak dari lidahnya dan kemampuan menempatkan diri sesuai situasinya. Hormati lawan secara sportif. Menang tanpo ngasorake”.

Pernyataan di atas adalah sepenggal ucapan Prabowo Subianto dalam memberikan pencerahan terkait makna berjuang di jalan politik. Mencermati sepak terjang Prabowo Subianto dalam dunia politik tentu tidak bisa dilihat dari kacamata kuda, tidak cukup sekadar sudut pandang hitam atau putih. Tetapi mencermati perkembangan sikap politiknya Prabowo Subianto mesti dilihat secara bijaksana dan harus dibongkar secara ideologis dan empiris.

Tidak mudah memang untuk memotret semua lakon politik Prabowo Subianto, terlebih pada saat ia telah berstatus pensiunan militer. Sejak itu pula, ia aktif berpolitik, berbisnis hingga terus membangun jaringan organisasi, baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan tidak mudahnya memotret kiprah politik Prabowo Subianto ini bukan berarti kita tidak dapat membongkar gerak politiknya semenjak ia aktif berpolitik, terlebih tampil sebagai orang nomor satu di Partai Gerindra.

Sebagai seorang yang fokus mencermati dinamika politik kepemimpinan nasional, penulis melihat bahwa dinamika politik yang dialami Prabowo Subianto sungguh menarik dijadikan sebagai bahan pembelajaran politik publik. Hal ini bukan saja terkait persoalan tidak menyerahnya Prabowo Subianto untuk mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia, tetapi juga ia berani mengambil sikap politik yang kemudian membuat dirinya menjadi sebagai seorang yang tercatat dalam sejarah Indonesia bahkan dunia yang dapat dikategorikan sebagai pejuang politik yang dapat bekerjasama dengan rival politiknya demi menjaga keutuhan bangsa dan tujuan nasional lainnya.

Baca juga :  Meningkatnya Aborsi Di Kalangan Remaja

Sikap politik Prabowo Subianto yang masuk dalam kabinet Joko Widodo memang memicu bias tafsir politik yang tak terkendali, menciptakan sublimasi propaganda politik bagi lawan politiknya, bahkan berbagai cemooh dan dianggap sebagai seorang pembelot bersarang pada diri Prabowo Subianto. Dalam merespons hal sedemikian, dalam berbagai kesempatan di ruang publik, Prabowo Subianto justru tidak menganggapinya dengan sikap melawan balik, tetapi ia memaparkan betapa pentingnya menjaga sikap kedewasaan politik, menjaga tujuan nasional untuk menghindari pertupahan darah generasi bangsa, serta persatuan rakyat lebih utama jika dibandingkan terus berperang politik tanpa melihat jalan damai. Pandangan politik sedemikianlah yang membuat sikap politik Prabowo Subianto sesuai dengan filosofi yang diyakininya “ajining diri saka pucuke lathi, aji ning raga saka busana. Harga diri seorang terletak dari lidahnya dan kemampuan menempatkan diri sesuai situasinya. Hormati lawan secara sportif. Menang tanpo ngasorake”.

Baca juga :  Cinta Segitiga India dan Pakistan di Kashmir

Soal berperang atau bertempur dalam makna politik, barangkali kita tidak jauh lebih paham dan meresapi makna perang yang seungguhnya. Mungkin boleh saja Prabowo Subianto dicap sebagai pencundang karena didasari ketidakpahaman terkait mengapa Prabowo tidak melanjutkan pertempurannya dengan barisan Joko Widodo saat pilpres yang lalu. Tetapi jauh dari ini, justru sikap politik Prabowo Subianto secara tidak langsung telah memberi pembelajaran nyata kepada republik terkait tujuan atau makna dari sebuah pertempuran yang sesungguhnya. Pertempuran bukanlah memperpanjang permusuhan, tetapi musuh mesti dihormati dan terus membangun komunikasi untuk mencapai tujuan kemaslahatan bersama, sehingga perang tidak dijadikan sebagai ruang aktif bagi pejuang politik di republik ini.

Kemampuan memaknai atau menjalankan strategi perang bagi sosok Prabowo Subianto mugkin ia telah mengetahui segalanya tentang itu. Terlebih ia pernah ikut berperang, pernah memimpin perang, hingga ia selalu siap bertanggung jawab kepada pasukan yang gugur dalam perang yang dipimpinnya. Atas realitas ini tentunya barangkali kita tidak cukup ilmu pengetahuan dan pengalaman ketika menyatakan Prabowo Subianto sebagai pencundang politik. Justru sebaliknya, tersemat pada diri Prabowo Subianto sebagai seorang teladan bagi pejuang politik. Semangat pejuang politik inilah yang kemudian terus dikobarkan oleh Prabowo Subianto kepada para pelaku politik di tanah air, baik itu dari kalangan Partai Gerindra maupun di luar Partai Gerindra,
Berdasarkan pengamatan penulis, sikap politik yang berlandaskan mentalitas pejuang politik dan mencari jalan damai dalam sebuah pertarungan politik adalah penyulut politik keindonesiaannya Prabowo Subianto. Dengan penyulut politik tersebut Prabowo Subianto terus dapat berjuang untuk menjaga keutuhan bangsa, memperkuat kesejahteraan rakyat (ekonomi konstitusi), serta untuk mencapai tujuan nasional dan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Baca juga :  Catatan Ilham Bintang Tentang Wartawan Kita

Mungkin hadirnya tulisan ini di ruang publik tidak seutuhnya diterima, terlebih ketika melihat sosok Prabowo Subianto sebagai lawan politik atau secara pandangan yang sentimental. Terlepas dari aspek keinginannya untuk kembali mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia, bukan berarti membuka ruang diskursus sosok yang pernah dibentuk dari dinamika politik masa 1945 hingga sekarang bukan tidak boleh, justru sangat berdampak baik bagi pembelajaran politik publik, terutama bagi kalangan generasi Y dan Z untuk mampu memaknai betapa pentingnya mengambil iktibar dari pejuang politik di masa sebelum mereka.