Beranda Opini

Mengintip Jakarta dari Dekat

Oleh Zulfata, Direktur Kartika Cendekia Nusantara (KCN), Tebet, Jakarta Selatan

OPINI – Jakarta Kota Kolaborasi. Demikian slogan suatu rezim kala itu. Kemudian berganti menjadi Jakarta untuk Indonesia. Perubahan itu memicu pertebatan di ruang publik. Dua kubu politik mencuat, antara pendukung dan yang mempermasalahkannya. Suasana politik Jakarta semakin hangat, diskursus pendidikan politik publiknya bergengsi meskipun masih ada asesoris politik kekanak-kanakan yang menghiasinya. Dari tesis politik ke antitesa politik, kemudian terurai lagi menjadi sintesa politik dan seterusnya. Demikianlah akrobatik Jakarta memicu penalaran bagi yang memperhatikannya.

Jakarta adalah kota jadi, jadi siapa pun pemimpinnya cenderung harus fokus dan mampu mengurus pelayanan publik secara terbarukan dan berkelanjutan. Memimpin Jakarta tidak bisa tergantung pada figur satu orang, tidak bisa bergantung pasa satu partai politik atau satu gerbong pebisnis. Adanya “warga kaya” kota Jakarta justru memberi nilai tambah bagi kekuatan kepemimpinan di Jakarta. Golongan ini adalah warga yang merdeka, boleh jadi mereka juga bagian dari warga dunia, sebab pendidikan dan liburan mereka pun melintasi jagat dunia. Sehingga keberadaan golongan ini tidak terlalu membebani tanggung jawab kepemimpinan Jakarta.

Yang menjadi tantangannya justru keberadaan kelas menengah ke bawah, teramsuk arus warga “miskin kota” yang sulit dibendung kehadirannya di Jakarta. Berbagai gagasan dan dinamika yang diletupkan terhadap pemerintahan Jakarta cenderung bersifat politis. Memimpin Jakarta tidak untuk para pemula, tidak untuk yang tidak memiliki pengalaman birokratis dan politik secara matang, tidak untuk yang menang setelah mendapat tiket dari kemenangan politik golongan emosional kiri atau kanan. Memimpin Jakarta dari masa ke masa selalu tergantung pada kemampuan dalam menciptakan membangun sarana dan prasarana memanusiakan manusia.

Baca juga :  Wartawan dan Media dalam Proyeksi “Normal Baru”

Meskipun ada program Jakarta yang dianggap tidak tepat sasaran, hal ini kemudian akan menjadi bom waktu bagi pemimpinnya, terlebih setelah memimpin Jakarta akan melentingkan pemimpin tersebut ke posisi bakal calon presiden Republik Indonesia. Tidak ada yang menyangkal bahwa Jakarta adalah ibu kota yang gagal seutuhnya, ada program yang mangkrak, tidak dilanjutkan oleh rezim selanjutnya. Sebab yang merespons Jakarta selalu ada rasionalisasinya, ada akal-akalannya, ada kompromi atau persengkokolannya. Sehinga ada banyak komunikasi politik pembenaran yang mengiasi diskursus politik Jakarta.

Jargaon “Maju Kotanya Bahagia Warganya” masih menjadi slogan politis meskipun terkadang menarik, realitas empirisnya belum begitu progresif dalam membabat berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami oleh sekelompok warga Jakarta. Wilayah pinggiran Jakarta adalah potret tantangan yang mesti terus dijawab oleh siapapun yang memimpin Jakarta dengan penuh aksi nyata. Tidak boleh lain dipidatokan lain pula yang diterapkan.

Kenyataan yang terjadi di lapangan tidak boleh disulap oleh para pendengung atau para pasukan gerbong pemburu rente yang berada di Jakarta. Demikian halnya soal bantaran sungai, sampah, keadilan hukum, keberpihakan kepada wong cilik, membela kaum buruh dan karyawan hingga keberanian untuk merdeka membangun perekonomian Jakarta secara Pancasilais, tidak terlalu over dalam membentang karpet merah kepada kaum oligarki dalam mengusai hulu bisnis di ibu kota.

Baca juga :  Perburuan Cawapres 2024

Barangkali warga Jakarta tidak perlu muncul seorang superhiro secara tunggal saat atau setelah memimpin Jakarta, warga Jakarta menginginkan kinerja nyata pemerintah dalam mengatasi sengkarut pelayanan umum yang semakin hari semakin bertambah problematikanya, mulai dari faktor perubahan iklim, perang bisnis, pasar gelap, pasar bebas, hingga upaya terus merawat nilai-nilai kemanusiaan dalam berbagai bentuk program pembangunan.

Membangun Jakarta tidak bisa terpicu oleh hobi gubernurnya. Jika gubernurnya hobi bersepeda, maka membangun jalan sepeda. Jika hobi gubernurnya selfie, maka banyak membangun tempat selfie. Sehingga visi untuk terus memperkuat kualitas kemanusiaan selalu berakhir dengan slogan manis tanpa ada pembuktian kerja secara totalitas. Parahnya, justru menyisakan permasalahan baru.

Melihat Jakarta dari dekat memang berbeda ketika melihat Jakarta dari jauh, terlebih melihat Jakarta dari sisi pemberitaan media arus utama, atau media sosial dari olah jari para pendengung dua kubu, apakah itu kubu yang pro atau pun kubu yang kontra. Makna melihat Jakarta dari dekat adalah upaya melihat Jakata secara langsung, mulai dari gagasan yang dituangkan dalam kampanye, siapa para pelakunya, siapa wasitnya, hingga kepastian realisasi dan efisiensi pembangunannya.

Baca juga :  King Maker 2024

Dalam konteks ini, Jakarta memang kota bisnis, kota di mana putaran anggarannya lebih kencang jika dibandingkan dengan perkumpulan kota di luar Jakarta. Demikian halnya yang bernaung di Jakarta bukan saja pejabat atau birokrat DKI Jakarta, tetapi juga para pemain politik dan makelar bisnis skala global, nasional hingga seluruh daerah berkumpul dalam satu kawasan yang bernama Jakarta.Sehingga dalam mengelola Jakarta tidak bisa berharap dari kekuatan Gubernur DKI Jakarta semata, sebab banyak tangan-tangan liberal lainnya yang juga memiliki pengaruh kuasa dalam mengatur Jakarta.

Sanking kompleksnya upaya mengurus Jakarta sebagai kota yang terus layak huni bagi seluruh ragam kemansuisaan yang bertandang ke Jakarta, mulai dari persoalan agama, sosial, kehehatan, pendidikan dan ekonomi kerakyatan. Sanking metropolitannya Jakarta, terkadang percampuran antara rasa penuh tantangan, rasa penuh kekaguman dan berbagai pesoalan yang tak selesai menjadikan kita berucap bahwa benar-benar berengsek Jakarta ini.

Berengsek boleh jadi satu kata dalam merespons tangangan, boleh jadi karena efek kata dalam menyaksikan kekaguman, dan boleh jadi pula karena terimbas dari berbagai persoalannya yang tak kunjung usai menimpa masyarakat.