Beranda Opini

Milenial: Antara Petani dan Politsi

Oleh Zulfata Direktur Kartika Cendekia Nusantara (KCN), Jakarta Selatan. (Dok.Ist)

Pelita.co – Kalangan milenial semakin menjadi pusat perhatian saat ini, bahkan menjadi incaran dalam merekonstruksi wajah Indonesia kini dan nanti. Di Wilayah Jawa Barat misalnya, milenial terus digiring, didukung, difasilitasi untuk mampu menggarap berbagai program pertanian secara produktif yang tidak sekadar untuk melentingkan kualitas hidup bermasyarakat dan bernegara, tetapi juga untuk merancang kesiapan bonus demografi agar tepat sasaran.

Sisi lainnya, mekanisme kerja politik 2024 pun terus mengincar kaum milenial sebagai penyokong kekuatan elektoral dan kekuasaan. Melenial dengan harga tawarnya yang tidak hanya dari sisi jumlah, pola pikir, tetapi juga pada faktor penentu perilaku di berbagai lini, baik dari sisi pangsa pasar, pasar kerja hingga ke postur pasar politik yang kian semakin berubah menyesuaikan zamannya.

Dua kata kunci dalam tulisan ini tidak sekadar menyampaikan apakah milenial akan lebih memilih menjadi petani atau politisi, melampaui dari itu Milenial setidaknya tidak bisa lepas dari kondisi dan pengaruh dari petani sukses dan politisi sukses yang sedang mengincarnya saat ini. Khazanah petani, kemudian merembes ke khazanah pertanian. Juga regenerasi politisi hingga merambat pengaruh politik kekuasaan. Siapa yang menguasai dunia pertanian dan para petani serta politisi, dapat dipastikan tidak akan pernah kelaparan, begitulah kehidupan politik dunia hari ini mengajari kita. Milenial suka tidak suka telah berada dalam dua gelombang besar tersebut, yaitu gelombang spirit bertani dan berpolitik.

Baca juga :  Jelang Pemilu 2024, MUI Ingatkan Jaga Persatuan

Meskipun milenial dilebel sebagai generasi yang instan, menuntut kepastian, tidak ingin ribet dan seterusnya, namun demikian di pundak kaum milenial telah bersarang sejuta beban pekerjaan rumah yang bernama tantangan Indonesia di pundaknya. Situasi kerakyatan, kekuasaan, baik dari sisi ekonomi, pertanian, politik bahkan pendidikan, kaum milenial akan terus digiring untuk mampu menghadapi jalan terjal kondisi Indonesia tersebut dengan penuh optimis.

Dengan adanya semangat sekelompok penguasa dalam menjaring kalangan milenial untuk berkatifitas sebagai petani yang produktif, secara tidak langsung telah menempatkan kaum milenial untuk mampu melihat kondisi pertanian Indonesia dari hulu ke hilir. Indonesia hari ini masih dikenal dengan negeri yang bukan saja suka mengimpor pemikiran dari negeri asing, tetapi juga gemar mengimpor pangan dengan tidak menyebutnya sebagai telah menjadi kebudayaan bibrokratis keindonesiaan.

Seiring dengan meningkatnya jumlah anggaran pertanian yang digelontorkan untuk program swasembada pangan dari sektor pertanian, justru semakin terlihat pula potret kesengsaraan rakyat di wilayah pasar rakyat. Harga produk pertanian terus mengerek, hasil panen raya petani tak terserap, iklim dan cuaca yang dihadapi petani tak kunjung mendapat alternative dan kompensasi, belum lagi soal praktik kapitalisasi pertanian yang belum berbaik hati terhadap kalangan petani.

Rentetan peristiwa kekinian Indonesia tersebut senantiasa menjadi tantangan baru yang harus mampu dihadapi oleh kalangan kaum milenial. Bukan sesuatu yang tidak banyak laba atau untung saat milenial mengeluti dunia “geo-ekonomi-politik” sebagai petani, justru dengan dunia pertanian atau menguasai dunia pertanian dapat menghantarkan kematangan bagi kalangan milenial untuk dapat merdeka dari yang namanya kemiskinan dan keterbatasan peluang kerja.

Baca juga :  Caprekan Anies! Zaki: Surya Paloh Piawai Memilih Calon yang Potensi Menang

Di tengah kesadaran publik yang masih memandang aktivitas petani secara kerdil dan sempit, justru semakin banyak misteri keuntungan yang belum dipecahkan dalam menjawab problem kemiskinan dan pengangguran di Indonesia saat ini. Artinya dengan sekadar menjadi petani saja dapat menciptakan satu kunci untuk menanggulangi tingkat pengangguran di Indonesia. Untuk itu, kesadaran milenial dalam memahmi dunia petani yang selaras dengan perkembangan zaman tidak bisa dilepaskan dari kemampuan dalam membaca dan memahami arah sikap, peran dan hasrat politisi masa kini.

Alih-alih kalangan milenial terus terjun aktif ke dalam dunia politik, justru lebih produktifnya adalah menempuh aktivitas sebagai petani yang sadar dunia perpolitikan. Bukan sekadar sebatas memahami marhainisme masa orde lama. Dengan menjalani aktivitas atau garapan pertanian, kalangan milenial secara bertahap akan mampu merasakan denyut nadi masyarakat, akan mampu mengukur kebutuhan “isi perut” rakyat dan peran kalangan elite di dalamnya. Sehingga kemudian pada saat berhadapan dengan iklim perpolitikan tidak berakhir pada kekosongan perut rakyat. Akan menjadi sebuah petaka ketika kalangan milenial berpolitik pada saan kondisi dirinya dan masyarakat sekitarnya dalam kondisi lapar. Bahkan kondisi sedemikian akan menjadikan kalangan milenial dengan sesamanya lebih parah dari peristiwa ikan Lele dalam air yang keruh.

Baca juga :  Kasus Cabup 02 Resmian Showroom UMKM di Bukit Besek, Kades dan Perangkat di Desa Guntur Diputus Melanggar Aturan Pemilu

Melalui semangat Jawa Barat dalam mendampingi dan memupuk kemampuan milenial yang sedang digalakkan hari ini dapat menjadi pembanding dalam berfikir bagi setiap daerah lainnya di Indonesia. Meskipun Jawa Barat tidak dapat disejajarkan dengan daerah lainnya di Indonesia karena faktor infrastruktur ekonomi, politik dan pertanian di Jawa Barat telah dapat dianggap terus mengalami perbaikan, paling tidak daerah lain di seluruh Indonesia segera bergerak cepat untuk menata berbagai insfrastruktur penunjang tersebut agar kalangan milenial di daerah lain tidak menjadi beban penghalang dalam meningkatkan produktivitas ekonomi rakyat di kemudian hari.

Akhirnya, dalam konteks ini pula, mengincar kalangan milenial tidak sekadar untuk mengontrol bagi kepentingan sekelompok penguasa, melainkan harus dipandang sebagai wilayah garapan dalam meningkatkan sumber daya manusia di seluruh wilayah Indonesia agar semakin meratanya keberadaan generasi yang produktif dan terbebas dari pembodohan para politisi yang bermain dengan kaum petani. Kalangan milenial sungguh dituntut mampu menemukan dan menghitung peluang yang terselip dalam kehidupan sebagai petani dan politisi. Tanpa menagarah ke situ, dapat dipastikan kalangan milenial akan menjadi bom waktu yang justru akan semakin memperburuk situasi dann kondisi Indonesia di masa yang akan datang.