OPINI – Ada banyak varian pasar yang dikemas oleh pemerhati ekonomi dan pelaku usaha di dunia. Dua di antaranya adalah adanya praktik pasar gelap dan pasar tradisional. Mencermati praktik masing-masing pasar tersebut cukup mudah ditemukan di Indonesia saat ini. Terkait pasar gelap, barangkali dapat melihat praktik serangan fajar dalam pemilu/pilkada bahkan pilkades. Demikian juga dengan praktik orderan kebijakan dari pemilik modal terhadap lembaga legislatif. Barangkali omnibus low dapat dianggap sebagai salah satu barang dari pasar gelap.
Berbeda halnya dengan eksitensi pasar tradisional, meski telah lebih dahulu terbentuk di masa-masa kerajaan, hingga Indonesia merdeka, tetapi pasar tradisional masih saja membutuhkan perjuangan tanpa henti. Realitas kekinian terkait pedagang pasar tradisional tersebut pernah disinggung melalui pidatonya Menteri Pertahan RI, Prabowo Subianto di pertemuan G-20.
Dalam pidato tersebut disampaikan bahwa adanya potensi benturan antara pasar tradisional dengan pasar modern. Sehingga negara benar-benar mesti memiliki kekuatan untuk menciptakan stablitas pasar dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Yang memiliki modal besar tidak memakan para pemilik modal kecil. Demikian sebaliknya.
Melampaui dari itu, arus pasar modern tidak mungkin dibendung perkembangannya, terlebih semakin canggihnya perangkat teknologi finansial dan platform market place hari ini. Sementara itu, keberadaan pedagang pasar tradisional mesti tetap dirawat sebagai penopang ekonomi kerakyatan kelas menengah ke bawah. Dia antara dua daya laju pasar yang dimaksud (pasar tradisional & pasar modern) terdapat pengaruh pasar gelap yang justru menjadi faktor pendulang semakin besarnya potensi benturan antara pasar tradisional dengan pasar modern. Sehingga yang dominan menjadi korban adalah pasar tradisional.
Tanpa mengurai benturan pasar tradisional dengan pasar modern, keberadaan pasar gelap adalah praktik perusak pasar yang kemudian tidak akan memberi harapan bagi pasar tradisional untuk terus berkembang. Padahal, dengan memperkuat pasar tradisional, secara tidak langsung akan memperkuat sistem ekonomi Pancasila di level praktik. Pasar tradisional sungguh identik dengan meningkatkan aktivitas pedagang kecil, pelaku usaha kecil hingga kemudian pasar tradisonal dapat disebut sebagai titik lokasi pengentasan kemiskinan.
Sistem politik dan hukum atau iklim berdemokrasi di Indonesia hari ini mesti dibersihkan dari praktik pasar gelap, siapapun pelakunya. Pasar gelap bukan saja merusak tatanan kebijakan dan aktivitas ekonomi kerakyatan, tetapi pasar gelap juga memberikan dampak beku bagi perkembangan pasar tradisional. Sehingga eksistensi pasar tradisional berposisi seperti mati suri. Hidup segan mati tak mau.
Atas kondisi sedemikian, sejatinya gerakan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) yang kini dipimpin oleh Sudaryono sedang berupaya memperkuat peran dan fungsi pasar tradisional sebagai ujung tombak mensejahterakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebab kelas masyarkat akar rumput ini cenderung putaran ekonominya berada di pasar tradisional. Sehingga sangat besar dampaknya bagi penyebab kemiskinan masyarakat ketika pasar tradisional itu dilemahkan secara sistemik melaui kekuatan politik para pelaku pasar gelap.
Tanpa pasar gelap, dapat dipastikan bahwa mengontrol daya laju pasar modern dengan pasar tradisional akan berada pada rel atau lokomotifnya masing-masing. Kolaborasi antara pasar modern dengan pasar tradisional ibarat ayunan tangan kanan dengan tangan kiri yang kompak memberi kenyaman bagi kaki dalam melangkah. Perumpamaan ini senantiasa memberi kita pemahaman bahwa betapa pentingnya untuk terus memantau dan mengawal pembentukan kebijakan dan fakta yang sedang terjadi dilapangan agar pasar tradisioal dan pasar modern tidak saling tarung bebas. Dalam kondisi ini negara mesti kuat dalam menciptakan aturan mainnya, sehingga negara benar-benar dapat menjadi keadilan dan kesejahteraannya bagi setiap kelas masyarakatnya.
Mendorong agar setiap komoditi dan harga dapat merata di seluruh tanah air adalah salah satu tantangan besar dalam upaya memperkuat pasar tradisional. Sehingga harga komoditi di Papua tidak ibarat bumi dan langit dengan harga di pulau Jawa. Demikian halnya tata kelola pasar tradisional di berbagai wilayah Indonesia yang belum mendapat perhatian dari pembangunan infrastruktur-sarana prasarana yang layak sebagai pasar bagi manusia.
Untuk itu, atas nama kajian strategis APPSI, sungguh penting untuk terus mendorong setiap pemimpin daerah, apakah itu gubernur, bupati/wali kota dapat melihat pasar tradisional sebagai titik sentral penguatan ekonomi rakyat. Bukan justru tergiur dengan praktik pasar gelap dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.