OPINI – Ihwal kesejahteraan rakyat selalu menjadi muara perjuangan politik di negeri ini, baik perjuangan politik jangka panjang maupun dalam jangka lima tahunan. Berangkat dari sejarah dan dinamika politik di Indionesia, cita kesejahteraan rakyat awalnya pernah diperjuangkan melalui gerakan revolusi bersama masyarat di seluruh Indonesia sebagai basis atau massa politiknya. Konsolidasi dan gotong royong politik waktu itu telah menyulut api perjuangan hingga Indonesia mendapat status kemerdekaan.
Seiring dengan perubahan politik nasional, dari orde lama ke orde baru, dari orde baru ke reformasi, kemudian tibalah saat ini yang barangkali dapat disebut era kesuraman demokrasi Indonesia. Dalam konteks ini, kesejahteraan masih menjadi titik capai oleh gerakan politik secara normatif. Tentu dalam hal memperjuangkan kesejahteraan rakyat tersebut tidak bisa dengan satu golongan politik saja, tetapi ia membutuhkan gerakan sistemik dalam menyelesaikan problem kebangsaan dan kenegaraan.
Kesejahteraan rakyat tidak akan terwujud selama model dan penerapan ekonomi suatu negara tidak betul-betul berpihak kepada prinsip ekonomi kerakyatan. Kegamangan antara pengendalian ekonomi yang diserahkan kepada mekanisme pasar atau mampu dikendalikan oleh negara saat ini masih berada di persimpangan jalan. Kondisi seperti ini telah memberi sinyal kepada kita bahwa dari sisi arah mata angin penerapan ekonomi tidak sedang melaju pada perwujudan kesejahteraan rakyat.
Demikian halnya, dengan kondisi penerapan demokrasi Indonesia terhadap rakyat, baik dari sisi hukum, kesehatan hingga pangan. Tiga sisi ini juga masih jauh dari apa yang disebut dengan menguatnya kekuatan demokrasi yang akan berdampak pada kesejahterakan rakyat. Justru yang sejatinya terjadi adalah postur pembentukan hukum lebih membentang karpet merah bagi gologan yang sudah lama kaya raya dengan kendali kuasa politiknya. Golongan ini dapat pula disebut sebagai golongan oligarki politik.
Dari sisi kesehatan, masih dominannya masyarakat Indonesia yang terbentang di atas tanah ibu pertiwi ini belum mendapat pelayanan kesehatan yang layak. Negara belum memiliki kekuatan super untuk membuktikan tanggung jawabnya secara utuh dalam menjamin ekosistem pelayanan kesehatan rakyatnya. Contoh kecilnya saja dapat dilihat pada posisi terus meningginya angka busung lapar dan stunting di Indonesia.
Selanjutnya, dari sisi pangan, baik dalam hal ketahanan pangan maupun dalam konteks swasembada pangan. Arah kekuasaan negara hari ini masih tampak kewalahan dalam mendulang kesejahteraan rakyat dari daya genjot politik ketahanan pangan dan swasembada pangan. Indonesia masih saja suka impor beras, kedelai dan komoditi lainnya. Dengan berhutang atau terus-terusan bergantung pada komoditi asal negara lain dalam upaya mencukupi pangan rakyat saja negara ini belum mampu? Bagaimana mungkin kesejahteraan rakyat Indonesia itu akan terwujud di dalam jangka waktu yang dekat? Meskipun demikian, kesejahteraan rakyat mesti terus diperjuangkan tanpa henti.
Tanpa mengurai dari sisi lainnya seperti sisi pendidikan, pertahanan, pola investasi hingga tata kebijakan keunagan negara. Dominasi gejala yang menandakan kesejahteraan rakyat tidak akan terwujud semakin jelas terlihat. Hal ini bisa dilihat dari pencermatan sepuluh tahun belakangan maupun kontekstualisasi sama kini. Kondisi sedemikian bukanlah negara atau perangkat negara tidak mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Hanya saja negara sedang dibajak oleh kekuatan politik sebagai dampak pola politik yang tidak sehat dalam setiap proses transisi politik nasional di negeri ini.
Pembajakan kesejahteraan rakyat ini dapat dipahami seperti kejadian pembajakan pada pesawat terbang. Ibarat pesawat, negara dibajak oleh sekelompok orang yang memiliki kemampuan khusus di atas rata-rata manusia lainnya yang kemudian mampu mengendalikan pilot agar mau mengikuti keinginan para pembajak. Dalam upaya mengendalikan pilot tersebut para pembajak bisa jadi dengan menggunakan kekerasan laungsung, pengendalian dari jarak jauh, atau bentuk intrvensi lainnya.
Perumpamaan di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwa ada indikator kesejahteraan rakyat tidak benar-benar diinginkan oleh para pelaku politik pembajakan kesejahteraan rakyat di negeri ini. Merekah sungguh lincah dalam berakrobat. Siapakah golongan yang menggunakan strategi politik pembajakan tersebut? Bagaimanakah caranya melakukan pembajakan kesejahteraan rakyat? Dan apa motifnya pembajakan kesejahteraan rakyat dilakukan?
Tiga pertanyaan di atas secara tidak langsung menggiring kita bahwa benar ada kemungkinan golongan yang menngunakan strategi politik pembajakan melalui kompromi politik yang berasal dari golongan politisi, pengusaha dan penegak hukum. Hal ini bisa jadi dilakukan melalui proses politik di partai politik, pembagian kekuasaan di eksekutif dan legislatif hingga pada penentuan kebijakan strategis nasional. Sehingga motif membajakan tersebut tidak lain tidak bukan adalah semata-mata untuk keberlangsungan kekuasaan, dari kekuasaan, oleh kekuasaan dan untuk kekuasaan. Bukan dari rakyat, oleh dan untuk rakyat.
Untuk itu, tidak ada alasan untuk menolak fakta bahwa kesejahteraan rakyat Indonesia hari ini masih dalam status dibajak oleh golongan yang disinggung di atas. Bagaimanakah cara untuk melepaskan pembajakan kesejahteraan rakyat tersebut? Salah satu caranya adalah tergantung sejauhmana rakyat mampu bekerjasama, bergotong royong untuk mensiasati bahkan melawan para pelaku politik pembajakan kesejahteraan rakyat di negeri ini. Apakah itu politik pembajakan melalui setting penentuan bupati/walikota, gubernur, bahkan presiden sekalipun.