Pelita.co – Pilpres 2024 seakan memputar jarum jam begitu cepat, bunyi antar detiknya seolah tak ada jeda, menyatu lurus dan deras dengan satu lengkingan panjang. Ritme pergantian malam dengan siang tanpa terasa, sederet nama capres dan cawapres terus dipromosi-dijual meskipun tahapan pilpres belum diresmikan. Narasi bakal calon dan calon pun tanpa pembeda di ruang publik saat ini. Pilpres 2024 telah masak sebelum waktunya. Proses kematangan politik 2024 itu pun mengalami perbandingan lurus dengan kecepatan perubahan iklim global. Sehingga gelombang dan bias politik tersebut terkadang menembus batas logika dan bahkan tak terjangkau oleh imajinasi sebagian manusia Indonesia.
Berbeda dengan nama-nama bakal capres yang telah akrab di telinga publik, seperti Prabowo Subianto, Puan Maharani, Anies Baswedan hingga Airlangga Hartarto. Soal dua atau tiga poros capres/cawapres masih terus digodok hingga ditutupnya masa pendaftaran capres/cawapres. Selain peliknya politik politik tari ulur terkait capres, posisi sedemikian juga terjadi pada proses politik pinangan cawapres. Meski dianggap posisi nomor dua, tetapi posisi kemenengan seorang capres juga sangat ditentukan oleh posisi tawar cawapres terhadap kalangan tertentu. Sehingga capres/cawapres adalah sebuah paket politik yang tidak bisa dihitung secara sembrono.
Segala aspek mesti diperhitungkan. Dalam perhitungan tersebut boleh jadi tidak lagi memperdulikan kemaslahatan rakyat. Kemenangan politik telah mengalahkan akal sehat untuk masa depan kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara. Bahkan berbagai langkah manipulasi, intervensi, jebakan, pengkhiatanan, adu domba dan seterusnya melekat pada alat ukur dalam memasang paket politik capres/cawapres tersebut.
Sementara ini, secara samar-samar maupun secara terang-terangan, terlihat ada sederet nama yang barangkali mungkin dipinang, bahkan gagal di pinang. Nama-nama tersebut di antaranya adalah AHY, Cak Imin, Khofifah, Andika, Ganjar, Erick, RK, bahkan Airlangga. Meskipun sudah ada kolaisi yang telah mengantongi cawapres yang ingin dijagokannya, namun tetap saja masih dibungkusnya dalam frame misteri politik.
Dengan cepatnya mengeluarkan nama pasti dari sosok capres, dapat dipastikan sasaran empuk dari serangan politik kompetitor akan mudah bersarang pada paket pasangan politik suatu koalisi. Atas kondisi ini, tren penentuan cawapres atau “paket utuh” pilpres di detik-detik terakhir sudah menjadi ciri politik Indonesia beberapa periode terakhir. Ibarat cerita naga dalam dunia fiksi, meski kepalanya (nama capres) sudah dapat dilihat. Tetapi tidak untuk ekor dan kakinya (cawapres). Boleh jadi kepala tampak menghadap ke barat, juga belum tentu ekor dan kaki yang bisa saja belum tentu senang menghadap ke barat. Demikian pula sebaliknya.
Mencermati, melakoni, bahkan turut berpartisipasi atau terjun langsung ke gelanggang politik nasional hari ini membutuhkan tenaga yang super ekstra. Apakah tenaga ini diartikan dalam bentuk pikiran, finansial, jaringan, keturunan, kekayaan, kecerdasan, kenderaan, usia, fisik, pengikut/loyalis, hingga kiblat politik dunia mengikuti perkembangan politik kawasan dunia. Demikian halnya penentuan cawapres. Pilpres periode lalu dapat menjadi titik balik penalaran bagi publik bahkan elite partai politik, dimana dalam hitungan detik ada jenaka poltik yang sejumlah nama cawapres gagal dijadikan sebagai cawapres. Kemudian, pada saat telah-sedang-setelah menjadi cawapres-wapres, justru secara politik kekuasaan menjadikan cawapres bagaikan ban serap. Sehingga peran cawapres bayangan pun semakin terlihat dalam membantu kinerja presiden terpilih.
Intinya, sosok seorang yang bisa dijadikan “boneka” bagi koalisi politik tertentu juga turut memberi andil bagi seseorang yang bersedia menjadi cawapres 2024. Selain cawapres juga harus menjadi magnet pemilih (rakyat), juga harus memiliki posisi tawar jalan tengah yang kemudian tidak terus memicu keretakan bagi kalangan politik penyokong setelah kemengan. Meskipun dalam penerapan politik yang diinginkan dalam iklim politik Indonesia saat ini tidak menutup pada ruang terpilihnya cawapres yang bersedia menjadi ban serap, upaya menuju ke arah yang dimaksud masih tampak menguat. Lihat saja misalnya, nama-nama cawapres yang berkembang di permukaan cenderung bertipe “tunduk dan patuh serta Sengkuni” atas kompromi politik. Nilai ketergantungan akutnya lebih tinggi dari pasa nilai ketergantungan seorang capres.
Sebagai pendulang kekuatan, bahkan kinerja bagi seorang cawapres hingga diproyeksikan nantinya setelah menjadi wapres. Seorang cawapres harus benar-benar dihitung dan ditentukan oleh koalisi agar tidak ditinggal di tengah jalan, atau membawa kabur tumpukan kemenangan yang awalnya telah dijanjikan akan mendapat bagian kekuasaan. Sebab perpolitikan di Indoesia saat ini masih tergolong labil dan sulit dijamin kepastian komitmennya. Melalui tulisan ini pula, tanpa disadari bahwa proses perburuan cawpres tak bisa serampangan. Jika hal ini tidak diperhatikan, maka capres yang dianggap potensial pun bisa roboh-rata dengan tanah, mengepul debu ke atas, merusak pandangan publik. Bahkan bisa lebih kejam dari itu, masuk ke dalam tanah tanpa bisa hidup kembali.