Beranda Opini

Perempuan Dan Partisipasinya Dalam Politik

Sofia Koni,S.Sos, Guru SMPN 2 Langke Rembong,Manggarai,NTT

Oleh: SOFIA KONI,S.Sos (Guru SMPN 2 Langke Rembong,Manggarai,NTT

MANGGARAI NTT,PELITA.CO- Dari Jaman Penjajahan sampai dengan saat ini,kaum perempuan masih saja menjadi nomor dua di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Sungguh sebuah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusian(HAM). Ini tentu sebuah kenyataan pahit bagi kaum perempuan,di mana hak mereka sebagai warga negara dibatasi dengan tidak diberikan peran penting dan strategis dalam berbagai instansi publik,lembaga,organisasi dan lain sebagainya sehingga sulit untuk berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan

Melihat kenyataan pahit ini, Raden Ajeng Kartini yang merupakan puteri bangsawan memiliki kepedulian dan memperjuangkan hak hak perempuan dengan membuka jalan bagi kaumnya itu untuk bangkit dari ketidak adilan gender pada masa itu yang dinilai sebagai sebuah kegelapan yang menyelimuti kaum perempuan itu sendiri

Perjuangan Raden Ajeng atau R.A.Kartini dituliskannya di dalam sebuah buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” Jangan Biarkan Kegelapan Kembali Datang, Jangan Biarkan Kaum Wanita Kembali Diperlakukan Semena Mena.

R.A.Kartini berjuang dengan mengajarkan kaum perempuan membaca dan menulis walaupun bukan melalui sekolah formal namun perjuangannya membawa keberhasilan bagi banyak kaum wanita pada masa itu

Di era yang serba modern saat ini, perempuan masih tetap dianggap sebagai mahluk lemah. Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27 ayat 1 sudah mengatur tentang segala hak dan kewajiban setiap warga negara, bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya

Baca juga :  Pembelajaran Terintegrasi Sosial Emosional

Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 ini sesungguhnya menunjukan bahwa konstitusi kita sudah mengafirmasi tentang kesetaraan di antara warga negara tanpa memandang gender. Hal ini tentunya merupakan pondasi penting dalam melanjutkan perjuangan R.A.Kartini. Pemerintah kita sebenarnya sudah membuka diri terhadap nilai nilai kesetaraan gender tersebut sejak masa orde baru

Sebuah fakta terjadi di dunia politik,institusi pemerintahan,lembaga publik dan organisasi lainnya,di mana peran perempuan masih sangat terbatas. Realita yang ada hingga saat ini,perempuan mengalami ketimpangan sosial dan budaya. Di berbagai penjuru nusantara,banyak perempuan yang buta atau bahkan justru dibutakan secara struktural akan potensi diri yang dimilikinya sehingga hanya menjalankan peran sekunder dalam masyarakat

Pada kenyataannya perempuan mempunyai potensi yang tidak kalah dengan kaum laki laki dalam hal memimpin. Kepemimpinan tidak mungkin terlepas dari individu yang berperan sebagai pemimpin itu sendiri

Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarki seperti Indonesia,kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatas karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki laki dan perempuan yang cenderung menganggap peran perempuan hanya terbatas pada urusan rumah tangga saja

Baca juga :  BPIP: Polri Banyak Perbaikan dan Perubahan, Tingkatkan Terus

Kurangnya keterwakilan perempuan dalam dunia politik,antara lain disebabkan oleh karena kondisi budaya patriarki yang tidak diimbangi dengan kemudahan akses dalam bentuk tindakan afirmatif bagi perempuan seperti pemberian kuota bagi perempuan pada lembaga legislatif

Representasi perempuan memainkan peran penting dalam pengelolaan dan peningkatan isu perempuan dalam politik. Keterwakilan perempuan dalam parlemen di Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen ini disebabkan karena rendahnya ketertarikan perempuan untuk berpartisipasi di dalam politik. Kurangnya jumlah perempuan di parlemen ini sangat berdampak pada tidak terakomodirnya isu terkait kesetaraan gender serta tidak mampu merespon masalah utama yang dihadapi perempuan

Upaya dan komitmen kuat dari pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan bagi gender dengan terus mendorong tercapainya kuota 30% keterlibatan perempuan di parlemen serta mengikis ketimpangan gender dalam politik

Perempuan memang bukan aktor politik yang dominan dalam perpolitikan nasional di berbagai negara. Di dunia pendidikan juga demikian, di mana hanya sedikit perempuan yang memegang peran strategis jika dibandingkan dengan kaum laki laki

Baca juga :  Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Mengubah Mentalitas Serta karakteristik siswa

Aristoteles menyatakan,politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan publik,pemerintah dan negara. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik pemerintah

Dr.Hidayat dari Ditjend Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM) mengatakan,pendidikan politik sangat penting untuk masyarakat mengetahui secara umum. Hal itu dapat dilaksanakan sejak para remaja sudah memasuki usia 17 tahun atau setingkat dengan pendidikan di perguruan tinggi

Agar perempuan memiliki hak yang sama dalam parlemen,perempuan harus mendapat pendidikan politik sejak usia 17 tahun sehingga mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam pemilu untuk memenuhi hak politiknya sebagai warga negara,baik hak memilih maupun hak untuk dipilih seperti menjadi calon legislatif (caleg)

Sebagai kaum perempuan yang yang bergerak di bidang pendidikan,penulis berharap agar perempuan tetap mengambil peran dalam panggung politik. Keterlibatan perempuan dalam politik akan mengubah jumlah kuota perempuan di parlemen,tidak hanya 30% namun lebih banyak lagi bahkan seimbang dengan laki laki

Meningkatnya jumlah keterwakilan perempuan di parlemen akan dapat membangkitkan keberanian perempuan pada generasi yang akan datang. Tak akan ada pemberdayaan lebih kekal berkelanjutan tanpa melibatkan perempuan (Najwa Sihab).