OPINI – Pola perilaku publik menuju puncak perayaan pilpres 2024 semakin terpola yang kemudian mulai menampakkan sikap militannya, demikian juga dengan proses pengerucutan narasi dan gagasan yang dimainkan para pendukung. Markerting politik, branding personal, penjaringan massa/relawan hingga pendekatan kreasi lainnya terus bermunculan seiring kecanggihan media kampanye politik hari ini.
Memperoleh tampuk kekuasaan adalah tujuan yang tidak dapat dibantah dalam perhelatan pilpres mana pun. Proses mendapatkannya tentu membutuhkan kerja atau perjuangan yang super ekstra, mulai dari kekuatan cost politic, setting regulasi Pemilu, komposisi koalisi, cakupan golongan/identitas hingga terkait kemampuan cermat dalam menciptakan skema atau peta rencana yang diterapkan.
Berangkat dari pengalaman pilpres 2019 yang memunculkan dua pasangan capres/cawapres, pemilih atau rakyat otomatis membentuk dua arus dukungan, selebihnya golput. Sebagai rakyat, kita telah menyaksikan dan mengalami langsung bagaimana kaitan perilaku pemilih saat menghadapi dua pasangan hingga setelah pilpres berlangsung. Pada akhirnya kekuatan politik kerakyatan semakin melemah. Sebaliknya, dominasi kekuasaan partai pemenang justru semakin “otoriter” dalam menentukan kebijakan strategis nasional.
Dalam konteks ini, memang Indonesia kini belum begitu mendapat porsi yang kuat bagi pemilih yang rasional dalam memenangkan capres yang hendak didukungnya.
Berbagai argumentasi atau gagasan akal-akalan, atau rasionalisasi sub-pembenaran jauh lebih marak mengisi ruang perhelatan pilres di Indonesia. Maka dari itu, narasi politik identitas adalah sebuah keniscayaan di Indonesia. Demikian halnya soal pola komunikasi politik yang membelah, lebel, generalisasi, emosional, basis wilayah, pengagum, pendengung hingga soal sentimen politik mantan koalisi secara bertahap mengkristal menjadi karakter bagi masing-masing pendukung capres.
Dengan tabuh politik curi start yang dimainkan oleh Partai Nasdem dengan awalnya mengusung tiga nama, hingga kemudian mengerucut pada satu nama yakni Anies Baswedan, secara tidak langsung diskursus politik transisi kepemimpinan nasional semakin panas, meskipun bagi kalangan elite hal ini merupakan sebuah pesta kekuasaan yang seru untuk dinikmati.
Deklarasi yang dimainkan Partai Nasdem tersebut kemudian berlanjut atas munculnya Prbowo Subianto yang diusung oleh Partai Gerindra dengan bayangan sementara dari PKB. Partai-partai lainnya masih menyimpan nama capres/cawapres yang diusung atau didukungnya. Demikian pula safari politik dalam membangun koalisi laten masih mencair hingga saat ini.
Jadi, secara kasat mata, tepat di awal tahun 2023, perihal mendukung capres masih belum memberi faktor pendukung yang komplit terkait siapa yang berpotensi besar untuk dimenangkan atau menang dengan sendirinya dari dukungan rakyat. Sebab pelaksanaan pilpres di Indonesia agak sedikit unik ketika belajar dari pola pelaksanaan pilpres di masa sebelum 2024. Artinya, kakuatan oligarki politik selalu melampaui kekuatan politik kerakyatan dalam memenangkan pilpres.
Pada kondisi perpolitikan pilpres sedemikian pula sejatinya tulisan ini dapat membuka ruang pikir dan cerminan bersikap bagi seluruh rakyat Indonesia bahwa jangan sempat menjadi arang atau abu saat melakukan aktivitas dukung-mendukung capres yang dianggapnya layak. Perbedaan pandangan politik dan pilihan politik mesti dijadikan prinsip kedewasaan berpolitik yang harus disadari seluruh lapisan rakyat di tanah air.
Meski pilihan politik atau pandangan politik cenderung lebih awal dipengaruhi oleh faktor emosional, praqmatisme, relasi, mitra, sehingga kemudian mejadikan kondisi dukung-mendukung tidak benar-benar menguntungkan rakyat secara menyeluruh. Justru hal sebaliknya yang terjadi yaitu gajah menari di puncak gunung, warga di hilir yang mengalami kerusakan. Rusak moral, rusak persaudaraan, hingga rusak pula iklim politik kerakyatannya. Garis pembeda antara politik sebagai pekerjaan dengan politik sebagai pengabdian harus disadari betul dampaknya.
Mewujudkan suasana dan kondisi pilpres penuh dengan sikap kedewasaan rakyat/pemilih masih menjadi harapan yang entah sampai kapan akan terwujud di Indonesia, namun upaya itu mesti terus diyakinkan ke publik bahwa pilpres tidak dapat diartikan semata-mata sebagai ruang tempur, kesempatan lanjutan dalam memburu rente, akselerasi politik uang, atau yang menang akan kenyang dan yang kalah akan lapar.
Kesadaran dan tanggung jawab dalam menciptakan pelaksanaan pilpres, mulai dari masa pra-pilpres hingga pascapilpres harus penuh dengan nilai dan praktik pencerdasan dan kedewasaan dari para penentu dan pelaku pilpres. Para penentu pilpres tersebut boleh jadi orang-orang kaya, baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri. Para ketua umum partai politik, baik itu partai yang masih kecil maupun partai yang berkekuatan besar. Para relawan hingga rakyat jelata.
Perihal mendukung pilpres 2024 senantiasa menghindari sulut api perpecahan, baik secara mentalitas publik maupun secara perangkat birokrasi pemerintahan. Praktik monopoli, mengintervensi lawan politik melalui kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menggantungkan kasus berat, mengorder Undang-Undang, mengobral janji-janji palsu untuk menarik simpati rakyat. Sederet praktik yang lazim terjadi saat konstelasi berlangsung ini mesti menjadi pemicu bagi pemilih dalam mengendalikan sikap dukung-mendukungnya.
Mustahil memang jika tidak ada perbedaan pilihan politik, terlebih Indonesia memiliki ragam kemanusiaan, agama dan budaya. Ditambah lagi nama-nama yang muncul sebagai capres di pilpres 2024 hanya dua atau tiga pasangan. Tentu ketidakseimbangan natara hasrat pemilih yang begitu komplit dengan ketersediaan pilihan calon pemimin yang disajikan.
Artinya, calon presiden masih saja ditentukan oleh para pemain lama di republik ini, meskipun dikemas adanya muncul sosok baru, namun sulit dibantahkan bahwa pemain lama sebagai dalang utama masih berperan kuat di balik sosok yang dikemas baru. Sehingga kita tidak tidak perlu malu-malu kucing mengatakan bahwa kaki tangan semacam politik orde baru masih leluasa mengendalikan pilpres 2024 mendatang.