PELITA.Co – Spiritualis nusantara Kidung Tirto Suryo Kusumo menitipkan pesan terbuka ke kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Inti pesannya ada tiga yakni menjaga amanat rakyat, memberi edukasi baik, dan menebarkan persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Kalau sampai rakyat menjerit karena ulah mereka (anggota DPR), jangan kaget kalau alam akan berteriak,” kata Kidung Tirto di sela-sela prosesi ritual dan kontemplasinya di Gunung Lawu, Jawa Tengah. Selasa (2/3/2021).
Menurut Kidung, kejadian-kejadian alam bukan sekadar bencana saja. Peristiwa luar biasa di Alam ini merupakan bagian dari dinamika semesta yang saling berhubungan.
“Hanya kita memang kadang kurang peka, dan ujung-ujungnya menyalahkan alam. Padahal kalau ada bencana alam, jangan-jangan itu karena salah manusianya. Kalau soal begini, tanya pada hati dan akal budi, jangan tanya pada rumput yang bergoyang,” ujarnya.
Kidung pun menjelaskan seputar pesannya tersebut, juga kaitannya mengenai relasi alam dan tingkah laku manusia. Dia mengingatkan, anggota DPR adalah wakil rakyat, yakni orang-orang yang diminta rakyat untuk mewakilinya. Dalam hal ini ada harapan dan amanat yang dititipkan.
Dalam konteks sistem demokrasi, sosok yang mendapat amanat dari rakyat akan mendapatkan delegasi kekuasaan dari rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Delegasi kekuasaan itu sepaket dengan beragam fasilitas yang diperolehnya sebagai anggota wakil rakyat.
“Seperti itu kontrak sosialnya, maka kalau amanat itu dikhianati, semesta tak akan mendukung. Jangan kaget kalau amanat itu akan copot dan alam memberi hukuman dengan caranya,” ujar Kidung.
Amanat rakyat itu diharapkan untuk mewujudkan harapan rakyat yang disematkan. Harapan itu merupakan misi pemerintah sebagai representasi negara yang garis besarnya tertuang dalam konstitusi.
Selain menjalankan amanat kekuasaan rakyat dan melaksanakan program turunannya, lanjut Kidung, wakil rakyat juga memiliki tanggung jawab untuk memberi edukasi positif kepada rakyat yang diwakilinya.
Ilustrasinya seperti dalam keluarga. Sosok orangtua sebagai panutan tentu harus memberi ajaran yang baik. Jika sosok yang dituakan memberi ajaran jelek, artinya merusak keluarga semuanya.
Dalam konteks kebangsaan, jika wakil rakyat sebagai sosok yang jadi acuan justru memberi contoh buruk, itu sama artinya dengan merusak keluarga Indonesia keseluruhan.
“Ada peribahasa guru kencing berdiri murid kencing berlari. Kalau ada tindakan rakyat yang tercela, wakil rakyat harus bercermin dulu apa yang sudah dia kerjakan,” kata Kidung.
Edukasi yang baik itu mencakup tindak laku dari berbagai sektor mencakup politik, ekonomi, sosial budaya. Di bidang politik, teladan yang harus diberikan adalah praktik politik bermartabat yang mengutamakan kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi atau golongan.
“Kalau yang dicontohkan itu adalah aksi gontok-gontokan dengan lawan politik secara kasar, maka kerusuhan dan konflik di bawah akan semakin subur,” jelasnya.
Selanjutnya poin ketiga adalah pesan agar wakil rakyat mendorong persatuan, bukan perpecahan di antara anak bangsa. Keberagaman Indonesia ini selayaknya menjadi sumber kekuatan bukan perpecahan.
“Ingat-ingat pesan leluhur, ingat semboyan Bhineka Tunggal Ika. Itu mantra nusantara, bukan hanya bahan ujian anak SD,” tegas Kidung.
Sementara itu, pesan senada disampaikan Teguh Supriyanto, tokoh masyarakat dari Ngawi, Jawa Timur. “Perbedaan pendapat dalam demokrasi adalah hal yang wajar jangan sampai berdampak terhadap rusaknya rasa kesatuan dan persatuan bangsa,” kata Teguh.
Dia mengatakan bahwa dalam penyampaian perbedaan pendapat, wakil rakyat seyogyanya menggunakan bahasa yang santun agar tidak memicu gesekan di antara yang sedang berbeda pendapat.
“Sebab apapun kita adalah satu bangsa satu bahasa satu tanah air yaitu INDONESIA,” kata Teguh.
Jika pendidikan politik untuk masyarakat seperti yang diperlihatkan di televisi adalah debat kasar tanpa memperhatikan tata kesopanan sikap maupun bahasa akan, niscaya masyarakat akan meniru dan ke depannya akan tercipta kegaduhan dan permusuhan.
“Untuk itu marilah kita tetap menjaga kesopanan dan menghormati sesama agar persatuan dan kesatuan bangsa ini tidak terluka,” katanya.
Terlebih pada kondisi pandemi Covid-19 yang hampir memporakporandakan sendi perekonomian dan kejiwaan bangsa ini, persatuan sesama anak bangsa harus lebih ditingkatkan. Dengan memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa kita akan segera mampu menghadapi tantangan hambatan dan rintangan yang ada.
Rakyat Tidak Percaya DPR
DPR memang masih memiliki PR besar untuk meraih kepercayaan publik. Sejauh ini sejumlah survey menunjukkan persepsi negatif masyarakat kepada DPR. Salah satu survey dilansir Lembaga Survey Indonesia perihal tingkat kepercayaan terkait penyaluran Bansos untuk korban Covid-19.
Pengawasan DPR terhadap penyaluran bantuan sosial terkait Covid-19 belum mampu memuaskan publik. Pada Oktober tahun 2020 lalu LSI merilis hasil survei yang menyatakan 52 persen publik tidak percaya pada kinerja dewan. DPR berada di urutan terbawah dari 11 lembaga yang disurvei.
Presiden berada di urutan teratas sebagai lembaga paling dipercaya publik. Tingkat kepercayaannya 81 persen dan ketidakpercayaan 16 persen. Sementara untuk DPR, tingkat kepercayaannya 42 persen dan ketidakpercayaan 52 persen. (Red)