OPINI – Presiden Joko Widodo melalui komunikasi politik telah menciptakan tabuh politik Indonesia berdendang kencang dan ramai. Mesin politik di berbagai partai politik (parpol) terkesan terpaksa bekerja lebih keras dari biasanya untuk menyesuaikan ritme kekuasaan dan koliasi. Awalnya, dendang politik pra-pilpres 2024 dilenggangkan oleh Surya Paloh dengan mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden yang diusung Partai Nasedem. Namun demikian, dendang politik 2024 tersebut semakin ramai, hingga kini Presiden Joko Widodo menjadi juru lenggang dalam iringan dendang politik lima tahunan tersebut.
Dalam kancah politik nasional, terkadang kehebohan harus diciptakan dengan tidak menyebutnya sebagai keniscayaan dalam negeri bersendikan kekuasaan. Dengan komunikasi politik Presiden Joko Widodo yang kemudian menabuh dendang yang mengarah pada calon presiden 2024. Dari panggung ke panggung, Presiden Joko Widodo dengan penuh gembiranya menebarkan sinyal-sinyal politik dukungan, meskipun sinyal tersebut dianggap bagian dari dagelan politiknya Presiden Joko Widodo yang menjadi presiden RI selama dua periode.
Adanya kalimat Prawobo Subianto sudah jatahnya menjadi presiden, kemudian ciri tubuh dengan kening berkerut dan berambut putih adalah sosok pemimpin yang memikirkan rakyat telah menjadikan Presiden Joko Widodo dilirik publik, barangkali bukan dilirik bukan sekadar presiden, tetapi apakah ia juga sedang berposisi sebagai king maker untuk 2024? Proses pembuktiannya masih bekerja seiring berjalannya waktu.
Meningginya semangat politik popularitas nir-subtansi demokrasi di Indonesia bukan saja dilakoni oleh seorang presiden, juga bukan saja diikuti oleh sejumlah menteri yang tak kalah populernya. Yang jelas semua itu dilakukan untuk menemukan bagaimana konfigurasi koalisi politik Pilpres 2024 mendatang.
Dalam kacamata berdemokrasi, apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo dengan segala dendangnya adalah sebuah kelaziman meskipun menyulut tafsir yang berlebihan ditanggapi oleh pengamat politik, relawan bahkan influenser. Kegaduhan politik ini semakin meningkat seiring meredamnya persoalan-persoalan krusial terkait adanya potensi kematian berdemokrasi di Indonesia.
Dendang politik yang dimainkan para elite sukses membangun opini publik dengan ditopang oleh prangkat pers yang berada dilingkar kekuasaan. Kekuatan oligarki telah mencapai level dewa, jeritan rakyat seolah tak terdengar, dan kemudian dijadikan sebagai ladang politik pencitraan bagi kubu-kubu politik yang bertebaran di tanah air.
Kini, telah ada tiga nama calon presiden yang berada di papan atas yaitu, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan. Sementara itu, Puan Maharani masih menjadi bayang-bayang sebagai akibat PDI-P tampak tidak ingin ikut bermain dipermukaan dalam berdendang politik. Dengan adanya tiga nama capres tanpa pasangan yang diusung partai tersebut, berarti belumlah tanda permainan akan segara dimulai, melainkan semua hal tersebut sedang menandakan belum adanya kepastian bagaimana permainan akan dimulai.
Sementara itu, beragam dendang terus bermunculan, parpol-parpol kecil terus melakukan manuver politik untuk mendapat efek ekor jas, para relawan politik seakan siap perang meski perang belum dimulai, para aktor oligarki tertawa terbahak-bahak melihat perilaku politik kelas akar rumput hari ini.
Polarisasi tak terbendung, yang terjadi adalah surplus polarisasi, mulai dari polarisasi politik identitas, polarisasi pasar hingga polarisasi kuasa koalisi dalam memprediksi kursi kabinet 2024. Dengan terus mencermati arah kekuasaan yang dibangun melalui acak postur politik Indonesia dari Pilpres 2014, 2019 hingga 2024 mendatang, kemudian ditambah dengan penguasa parpol yang cenderung berada dalam satu kabinet di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, maka sejatinya publik mesti dapat menjadikan fenomena dendang politik hari ini sebagai ujian untuk menahan diri agar tidak terjerumus ke dalam polarisasi politik yang justru merusak kesejahteraan rakyat itu sendiri.
Kini, disadari atau tidak, mengedepankan sikap persatuan dan kesatuan antar warga negara adalah hal yang paling prinsip dalam berbangsa dan bernegara. Sikap kedewasaan dalam berpolitik semua pihak mesti diperkuat di tengah besarnya gelombang politik kekanak-kanakkan yang dimainkan oleh influenser politik yang ditunggangi. Kegagalan melewati ujian dendang politik oleh kaum elite linggkar kekuasaan hari ini akan menghantarkan republik ini ke dalam suasana sengkarut politik. Suasana dimana sistem politik yang dibangun telah lilit-melilit di pusaran yang sama meskipun calon presiden atau calon wakil presiden di anggap pemain baru di kancah politik paling bergengsi di negeri ini.
Benar bahwa Pilpres 2024 adalah pintu harapan dalam memperbaiki Indonesia lebih baik, lebih makmur, adil, damai dan sejahtera. Tetapi harapan untuk mewujudkan itu semua tidaklah murah, ia membutuhkan sikap biaya besar dan jiwa besar, rela berkorban, gotong-royong dalam berbagai perbedaan pandangan politik. Dengan menebarkan serta menumbuhkan sikap kedewasaan berpolitik menuju pilpres 2024 akan menggiring kita bebas dari ancaman sistem politik yang sengkarut hari ini.
Pesta politik 2024 memang dikemas untuk pestanya rakyat, dibuat seolah-olah rakyat berdaulat dalam memilih pemimpinnya, namun jauh dari itu. Berkaca dari pilpres-pilpres belakangan, dan mencermati kisi-kisi ujian pra-pilpres hari ini, ternyata sulit menyangkal bahwa posisi kaum elite politik yang berdendang hari ini akan selalu sejahtera di rezim siapapun yang nantinya mendapatkan kemenangan Pilpres 2024.