OPINI – Di Papua limbung pangan, merebak pada pola makan yang berubah, Isu tengkses menguat di sana. Di ujung pulau Sumatera, setelah kasus polio Aceh, stunting juga menguat di sana. Di Pulau Jawa, polemik data impor beras dan kemiskinan juga terus menjadi perbincangan hangat. Barangkali tiga wilayah Indonesia ini dapat menjadi tiga pusaran titik dalam melihat potret politik isi perut di Indonesia masa kini.
Meski gerak politik menyambut Pilpres terus mengencang, kekuatan dalam menghadapi swasembada pangan pun tak boleh melambat. Dua hal ini terkadang tak bisa dipisahkan dalam hal bagaimana menciptakan kedaulatan rakyat, bisa jadi berdaulat secara politik maupun berdaulat secara pangan. Dua hal ini memang sudah menjadi permasalahan klasik yang tak mampu teruraikan. Sejak Indonesia di masa orde baru pernah mencapai negara yang mampu menciptakan swasembada pangan, memenuhi kebutuhan pangan di negeri sendiri. Namun pada perjalanannya swasembada pangan itu runtuh mengikuti nasib orde baru.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Indonesia bisa sedemikian? Faktor atau penyebabnya sangatlah beragam. Pastinya bukan berarti Indonesia tidak memiliki solusi untuk itu, apakah itu solusi secara politik ataupun solusi secara praktik ketahanan dan kedaulatan pangan. Yang jelas rakyat Indonesia ini masih banyak yang perutnya tidak terisi dengan normal, berdampak bahaya pada kondisi kesehatan rakyat, berpengaruh pada pemerataan gizi generasi bangsa yang katanya sebagai calon pemimpin masa depan.
Sampai kapan kondisi politik isi perut di Indonesia terus seperti ini? Di tengah tingginya angka limbah makanan di Indonesia justru menjadi ironis ketika masih ada anak bangsa yang tidak mendapat gizi berkecukupan. Di mana peran negara? Seberapa kuat kepedulian daerah kepada warganya yang mengalami tengkes atau gizi buruk? Dua pertanyaan ini sungguh tidak menarik diuraikan selama jaringan sel-sel kekuasaan masih diternak baik dan berkelanjutan oleh kaum oligarki yang menguasai segala penjuru birokrasi pemerintah.
Namun demikian, ada menariknya ketika politik isi perut ini mesti mendapat ruang dalam perjuangan kehendak politik dalam Pilpres 2024. Diperjuangkan agar tidak dijadikan sebagai celah kamuflase program di mimbar kampanye. Masyarakat harus terus disajikan, bahkan disadarkan bahwa pilpres 2024 mendatang adalah bukan sekadar pesta rakyat, tetapi juga mesti dilihat sebagai momen pembebasan dari rakyat perut kosong menjadi rakyat yang sejahtera, makur dan sentosa. Tentu berjuang dalam kondisi perut lapar berbeda dengan berjuangan dalam kondisi perut kenyang. Yang berjuang dalam kondisi perut kenyang pasti dapat hidup dalam kondisi badai politik apapun, tetapi yang berjuang dengan perut kosong, menang belum tentu terisi perutnya, kalah sudah pasti semakin lapar.
Makna perjuangan isi perut kosong, lapar, gizi buruk dan penyakitan yang berhadapan dengan kaum perjuangan yang isi perutnya adalah melampaui makna kaum borjuis dengan proletar. Karena kaum perjuang yang isi perutnya kosong masih berpotensi abu-abu, tak jelas perjuangannya hendak kemana. Ia mudah terombang-ambing bagaikan debu jatuh dalam gelombang lautan.
Dalam gelanggang perjuangan politik isi perut ini sejatinya tidak ada wasit yang benar-benar adil dalam menilai, tidak ada teknologi yang canggih dalam melihat siapa yang curang dan siapa yang terzalimi. Perjuangan atau persaingan dalam konteks ini tidak seperti main sepak bola di piala dunia Qatar.
Sampai detik ini, jangankan masyarakat umum yang tidak mampu memenuhi gizi, para petani pun, bahkan para nelayan atau pedagang kecil sekalipun tidak mampu berbuat banyak dalam memperjuangkan agar mendapat tetesan kekuatan dari kekuasaan, apakah itu pemerintah atau penguasa yang berada di balik pemerintah. Politik kerakyatan yang kini tak berdaya mesti dapat dipandang sebagai sebuah instrumen dalam mencapai peluang kesejahteraan rakyat. Target minimal yang harus dicapai adalah tidak ada lagi rakyat Indonesia yang mengalami gizi buruk, tengkes di tengah tingginya isu ketahanan pangan dan swasembada pangan di Indonesia di masa yang akan datang.
Publik dan elite mesti melihat ini sebagai pekerjaan rumah bagi Indonesia yang tidak pernah dikerjakan dengan baik. Partai-partai politik, bahkan istana presiden hingga parlemen masih menjangkau secara tanggung dalam menyelesakan pekerjaan rumah tersebut. Apa jadinya ketika Indonesia sedang fokus membangun istana baru, rumah baru yang megah dengan ditopang oleh teknologi berkekuatan tinggi, tetapi masih banyak titik wilayah yang warga negaranya masih menderita busung lapar dan penyakitan akibat ketidakjelasan tatakelola pangan untuk rakyat.
Untuk itu, mendesak kiranya ketika semua yang terlibat dalam konstelasi politik 2024 mesti melihat bagaimana nantinya ketika komposisi kekuasaan setelah pilpres tidak lagi meninggalkan bom waktu dengan tidak membenahi sistem pangan rakyat di Indonesia. Telah 77 tahun Indonesia merdeka, lebih dahulu dari negeri Malayasia, tetapi di Indonesia masih saja dihiasi oleh persoalan isi perut rakyat yang tidak merata.
Singapura saja yang tidak memiliki sumber kekayaan pangan layaknya Indonesia, mereka tidak ada lagi penampakan rakyatnya yang mengalami gizi buruk secara marak. Tetapi Indonesia yang memilki sumber kekayaan yang berlimpah, lahan pertanian terhampar luas, lautan terbentang, isi bumi lengkap, dari nikel, batu bara, uranium, emas dan sebagainya. Justru kondisi seperi ini Indonesia masih saja terus awet dengan yang namanya masyarakat yang terdampak kerentanan pangan, miskin dan melarat.
Tentu ini semua bukan sekadar persoalan postur politik atau sistem kekuasaan, tetapi juga persoalan sejauh mana tanggung jawab rakyat Indonesia mampu melepaskan belenggu negara melalui pilpres, pilkada, pilleg. Wibawa Indonesia mesti dikembalikan dengan adanya kemauan kolektif, berjiwa besar untuk terus bergotong-royong untuk setiap wilayah Indonesia dapat merdeka dari rasa lapar, dan terus memicu stimulus agar setiap isi perut generasi bangsa menjadi normal tanpa ada temuan maraknya generasi tengkes.