Beranda Opini

Politik Persatuan di Musim Kebohongan

Oleh Zulfata, Direktur Kartika Cendekia Nusantara (KCN), Tebet, Jakarta Selatan

OPINI – Habis kampanye terbitlah kebohongan. Setelah pidato, yang tersisa adalah seonggok kalimat yang menyulut harapan. Di sana akan dibangun itu! Di sini akan diberikan akses secara merata! Saya Pancasila! Kita NKRI! Kita satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa! Beberapa kalimat yang disampaikan ini dapat dijadikan cerminan dalam merasakan adanya kehadiran musim kebohongan di tanah air.

Sama halnya seperti musim hujan, panas, tanam hingga musim panen. Musim kebohongan adalah suatu keadaan yang kehadirannya telah dimaklumi oleh publik saat ini, terutama bagi kalangan netizen. Sehingga ketika berbohong jarang kali dapat dibedakan dengan kekeliruan tak sengaja. Kebohongan yang direncanakan dengan sedemikian rupa, dirancang dengan secanggih mungkin, menjadikan kebohogan sebagai alat dalam mencapai tujuan.

Praktik kebohongan akan semakin jelas terlihat ketika memahami sikap rakyat dengan wakil rakyat atau pemimpinnya sedang saling berbohong. Jargon atau slogan seperti gotong-royong, kesejahteraan, atas nama bangsa Indonesia, berkeadilan dan berdaulat sering dijadikan asesoris dalam menyampaikan kebohongan. Kebohongan terus disulap dengan tampilan yang seolah-olah memiliki data yang akurat. Ragam rasionalisasi disampaikan dalam menyakinkan agar kebohongan dapat diterima sebagai kebenaran.

Musim kebohongan ini bukan saja ditopang oleh pelaku media yang suka memproduksi hoaks, ujaran kebencian hingga sentimen kelompok yang kemudian dijadikan sebagai kenderaan politik. Benar bahwa kebohongan adalah sifat alamiah bagi manusia, namun bukan berarti kebohongan terus-terusan membiarkan arena kekuasaan dihiasi dengan politik kebohongan yang penuh intrik dan propaganda yang merusak kondisi bangsa.

Baca juga :  Catatan Ilham Bintang Tentang Wartawan Kita

Kegemaran dalam berbohong ini bukan saja terjadi di kalangan akar rumput, tetapi juga berpotensi terjadi di kalangan mantan presiden, pejabat, tokoh agama, guru besar pimpinan partai politik, menteri, gubernur bahkan presiden sekalipun. Kemampuan dalam menutupi kebohongan seolah-olah bagian dari pemantapan dalam berkomunikasi politik. Sehingga munculnya anggapan bahwa politik identik dengan kebohongan.

Tentu kita tidak ingin larut dengan kondisi yang disinggung di atas. Meskipun kebohongan itu sifatnya niscaya dalam konstelasi politik, tetapi kebohongan tidak boleh dibiarkan mengakar dan berkembang biak dalam praktik Indonesia. Demikian halnya dengan keinginan untuk memperkuat politik persatuan dalam membebaskan Indonesia dari musim kebohongan. Sehingga pada saat menggalang politik perstuan tidak berakhir pada persatuan dalam berbohong.

Apakah tidak ada praktik persatuan dalam berbohong itu di Indonesia? Mustahil tentunya jika tidak menjawab tidak ada. Hal ini dapat dilihat ketika masing-masing kubu politik mahir berbohong dalam menjaga citra golongan politiknya, membangun rasionalisasi sekreatif mungkin dalam menutupi kebohongan pemimpin politiknya. Sehingga kebohongan terjadi secara turun-menurun. Kebohongan berjalan secara birokratis. Kejujuran terkadang barang aneh dalam kondisi seperti ini.

Baca juga :  Mengenang Peristiwa Bersejarah Sumpah Pemuda

Untuk itu, mendorong untuk hadirnya politik persatuan mesti benar-benar bermakna persatuan yang sesungguhnya. Persatuan yang dibangun atas keiklasan dalam berjuang. Persatuan yang didasari oleh panggilan dan tanggung jawab dalam menjaga bangsa dan negara. Persatuan yang digerakkan atas sikap rela berkorban dan penuh kesadaran bersama bahwa bergotong-royong adalah perekat kekuatan menuju cita-cita kemerdekaan.

Memupuk kesadaran politik persatuan sejatinya tidak hanya pada saat menjelang pilpres, pilkada, pilleg hingga pilkades. Kesadaran politik persatuan mesti dilaksanakan secara berkelanjutan sebagai bagian dari edukasi politik kewargaan. Kekuatan politik kebohongan yang biasanya diciptakan dari atas yang kemudian dapat memicu salah sangka dan salah kaprah di ruang publik mesti dibentengi oleh kesadaran politik persatuan.

Banyaknya pilihan politik, adanya keberpihakan politik di kalangan rakyat merupakan proses politik itu sendiri dalam bekerja. Dalam proses politik inilah prinsip persatuan itu terus dirawat. Praktik tarik ulur, kompromi bahkan transaksi yang dilakukan dalam proses politik jangan sempat menyisakan hutang yang harus dibayar mahal. Hutang tersebut bisa jadi dalam bentuk keretakan sesama rakyat, dendam antar warga yang rentan terjebak dari dampak buruk politik.

Sejatinya rakyat Indonesia mesti banyak mengambil pembelajaran dari setiap tahapan pilpres, pilkada, pilleg bahkan pilkades yang pernah berlangsung di tanah air. Hal ini tidak saja akan memicu sikap pendewasaan politik bagi pemilih (konstituen), tetapi juga akan memberikan sinnyal terkait perkembangan politik di Indonesia sedang mengarah pada kemajuan dan berperadaban atau belum mengarah ke situ.

Baca juga :  Perihal Mendukung Capres 2024

Politik persatuan atas nama bangsa dan negara Indonesia mesti membonsai segala tindak-tanduk politik yang sedang atau akan dimainkan. Sangat berbahaya ketika setiap konstelasi politik berakhir di keranjang pembelahan publik. Sebab menang dan kalah sudah pasti terjadi dalam pertarungan politik. Pada kesadaran inilah sejatinya politik juga harus dipandang sebagai persaingan suka cita, atau yang dikenal sebagai pesta rakyat.

Di tengah banyaknya instrumen kebohongan yang terjadi di Indonesia saat ini, suka atau tidak kita harus siap untuk mengambil peran agar iklim politik di Indonesia tidak menggadaikan kesejahteraan rakyat. Sebagai warga negara, setiap kita, terutama bagi generasi muda untuk dapat berperan aktif dalam menjaga perdamaian warga negara dan ketertiban rakyat dalam menjalani tahapan pemilihan pemipin atau wakilnya. Atas dasar kesadaran inilah sejatinya kita patut optimis bahwa iklim politik dapat dirubah, atau sitem politik dapat dirombak agar tidak menjadi bola liar bagi gawang yang bernama keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.