OPINI – Meski perihal besaran cost politic sangat berpengaruh pada lemah atau kuatnya sumbu yang ikut menyalakan api dalam pilpres 2024, namun sumbu-sumbu kekuasaan klasik dalam menciptakan perekat massa tidak bisa dihindari walaupun modernisasi bertumbuh pesat. Perekat massa sebagai dampak sumbu klasik tersebut di antaranya dengan pengelompokan agamis, nasionalis, ekstrim kiri, ekstrim kanan, moderat, sosialis hingga abu-abu. Pengelompkan massa sedemikian barangkali terjadi sebagai dampak kemajemukan yang telah menjadi jati diri bangsa.
Jika dilihat dari trah politik atau garis politik masing-masing partai politik di tanah air, sumbu atau poros yang menjadi ujung tombak bagi pelecut kekuatan antar partai politik (parpol) cenderung terlihat. Misalnya parpol A perekat massanya adalah buruh, parpol B perekat massanya adalah kaum agamis, parpol C perekat massanya adalah barisan nasionalis, parpol D perekat massanya adalah kaum sosialis-kekirian, parpol E perekat massanya adalah mantan ekstrimis kanan, dan demikian seterunya.
Pendulangan massa yang dilandasi oleh idologis kerakyatan boleh jadi disebut telah menjadi barang antik tanpa menyebutnya sulit didapat. Kecenderungan parpol dalam menciptakan pergerakan atau mobilisasi massa yang didasari ledakan ideologis parpol lama-kelamaan semakin tumpul, bahkan boleh jadi telah hilang jiwanya. Faktor polesan figur yang dibenturkan dengan spirit emosional massa tertentu jusru semakin mendapat tempat bagi setiap poros pengendali kekuasaan di Indonesia.
Dengan dibantu oleh keadaan regulasi yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum kembali memperebutkan tampuk kepemimpinan nasional, poros-poros kekuasaan ini meskipun terus membuka diri, tetapi kehendak untuk mendapatkan posisi poros yang dominan tetap menjadi incaran prioritas bagi setiap poros kekuasaan. Berbagai cara dan upaya dilakukan, termasuk dengan cara menggadaikan harkat dan martabat bangsa, tidak tertutup kemungkinan juga terus merawat kebodohan massa yang selalu berada dalam kungkungan poros kekuasaan.
Coba perhatikan misalnya, saat menjelang pilpres, rakyat dipola seperti pasar yang dikendalikan oleh pemilik modal, kondisi negara dan pemerintah dikondisikan sesuai pengendali rantai pasok. Sebagian dari rakyat bahkan pejabat publik berubah menjadi sales-sales politik yang terus berjuang memperdagangkan komuditas jualannya, barang dan jasanya, apakah itu berbentuk gagasan visioner maupun gagasan akal-akalan dalam memproyeksi kinerja solutif.
Panggung kekuasaan memang tidak seperti apa yang dipahami oleh teori Adam Smith terkait invisible hand, dimana pasar dapat menentukan dirinya sendiri tanpa pengendalian pemerintah. Melampaui dari itu, panggung politik adalah ruang yang dibentuk penuh dengan rencana, sokongan, kompromi, pengorbanan, pengkhianatan, pertemanan, perlawanan, pertempuran, perdamaian hingga transaksional berbagai pihak. Semuanya ini diramu dan menyatu dalam bentuk perjuangan memperebut tampuk kepemimpinan nasional, mulai dari jabatan presiden Republik Indonesia hingga jabatan strategis nasional lainnya.
Gerak atau skema politik di Indonesia semakin canggih, kecanggihan ini dapat dilihat bukan saja tampak fokus menjaring calon presiden atau wakil presiden, tetapi juga bagaimana caranya setiap poros partai politik mampu mencapai apa yang diinginkannya, apakah itu untuk menaikkan angka parlemennya atau pun sekadar menyusu sementara dari parpol besar.
Meskipun kita percaya bahwa parpol sejatinya adaah ruang dalam memperjuangkan aspirasi dan gagasan publik dalam pembentukan kebijakan pemerintah, tetapi kita juga percaya bahwa ada parpol yang terbukti keseringan membajak aspirasi rakyat, memanipulasi suara rakyat, hingga mengelabui cita-cita proklamasi kemerdekaan.
Dengan situasi keindonesiaan yang sedemikian tentunya kita tidak boleh pasrah di tengah keberadaan poros kekuasaan yang sering kali cepat lepas tangan atau cenderung lepas tanggung jawabnya sebagai parpol yang benar-benar menjadi ujung tombak rakyat. Sistem dan budaya politik di Indonesia harus bisa diperbaiki meskipun saat ini upaya memperbaiki sistem dan budaya politik tersebut masih belum mendapat resep yang jitu.
Membubarkan parpol barangkali akan menjadi gagasan yang mustahil di republik ini, meskipun gaasan serumpun sedemikian pernah dilontarkan oleh presiden Gus Dur ketika mewacanakan pembubaran lembaga Dewan Perawakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Jauh dari itu, segenap pikiran dan tenaga harus benar-benar kita curahkan untuk terus berjuang menemukan jalan perbaikan sistem dan kultur perpolitikan di tubuh bangsa dan negara ini.
Tentu sekelompok rakyat tidak mampu menggarap harapan yang disampaikan di atas, demikian halnya beberapa poros kekuasaan yang sedang memperebutkan tampuk kepemimpinan di 2024 juga tidak boleh dibiarkan tanpa pengendalian politik publik. Satu-satunya celah untuk menciptakan solusi jangka panjangnya adalah bagaimana rakyat Indonesia mampu menciptakan poros politik yang berkultur dominasi pemilih rasional, tidak mudah disogok, tidak takut melawan aturan yang tidak berpihak pada kedaulatan rakyat, hingga mampu mensiasati hulu kekuasaan parpol demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Tanpa ada harapan aktif menuju kesana, suatu saat parpol akan liar dengan sendirinya, bisa jadi parpol akan menjadi gunting dalam lipatan, akan menjadi musuh dalam selimut, bahkan akan menjadi predator bagi rakyatnya sendiri. Kekhawatiran ini semakin jelas terlihat ketika kita melihat gelagat parpol yang ikut dalam pesta kekuasaan di 2024, bukan disebut pesta demokrasi karena sifat dan bentuk arah perebutan kekuasaan di 2024 bukan dari, oleh dan untuk rakyat. Melainkan adalah dari kekuasaan, oleh kekuasaan dan untuk kekuasaan.