Pelita.co – Istilah tikus menjadi identifikasi lumrah pada negara kesatuan Indonesia ini yang selalu pada kasus korupsi, ini memang terus melanda negeri ini. Bahkan orang pun muak sekali dengan berita-berita yang tak kunjung padam perkara kasus dugaan suap, korupsi dan cuil mencuil uang segar. Ini pun teringat pada sebuah lagu berjudul ‘tikus-tikus kantor’ seolah menjadi gambaran nyata dan tak pernah lekang ditelan oleh zaman.
Namun beda hal nya dengan yang sekarang mengalam peningkatan kasta tikus, apa ini yang membuat tikus yang sudah mulai bersekolah dan paham fungsi akal mirisnya ini terjadi pada dunia Akademisi mulai menguak, si pemegang otoritas pada sebuah tempat menempa ilmu yang seharusnya di ajarkan sebuah pemahaman tentang cara berfikir sehat, merawat akal sehat, berorientasi sebagai agen perubah negara malah justru menjadi agen yang merusak bangsa.
Jangan heran, masalah seperti buih di lautan (si tikus) pada kasus korupsi terbongkar, penyair handal membuat lagu “Tikus – Tikus Kantor” ini laku buat di kalangan masyarakat dan mahasiswa sekalipun. Entah memang sangat relate dengan keadaan sekarang dari tahun oligarki B.J Habibi, Pasca reformasi, BJ. Habibie selaku presiden pada waktu itu memiliki peranan yang cukup besar dalam memberi ruang yang luas bagi perkembangan demokrasi. Hal ini tidak terlepas dari desakan sebagian besar rakyat Indonesia akibat akumulasi kekecewaan terhadap rezim otoriter Soeharto.
Melalui pintu demokrasi yang terbuka lebar juga, kekuasaan eksekutif Habibie tidak dapat dipertahankan pada SUMPR 1999. Reformasi 1998 dengan demokratisasi sebagai agenda utamanya telah membuka babak baru sekaligus menjadi titik balik dalam konstalasi politik nasional menuju ke arah yang lebihsehat, yakni demokratis dan terbuka.
Mungkin sosok Iwan Fals mendapat royalty dari diputarnya lagu itu atau tidak, tapi pesan yang paling jelas ialah karya itu menjadi gambaran nyata korupsi telah membudaya sampai meradikal.
Serasa muak, namun kenyataannya kasus korupsi memang seolah tak pernah tuntas. Tapi paling tidak sebagai seniman, Iwan Fals telah menyuarakan karyanya lewat lagu-lagu mewakili para pendegarnya yang gelisah mempertanyakan keadilan. “Ya mau gimana, karena saya juga tidak bisa merangkul semua,” kata Iwan serius.
Gambaran sosok tikus pada syair itu pun muncul dalam adegan sebuah film kartun. Tikus itu berlari-lari dan makan apa saja yang menurut dia bisa untuk memenuhi isi perut. Tanpa perduli makanan itu milik orang lain yang membutuhkan. Paradigma ini pun bisa membangun logika semua masyarakat senikmat itu ya para tikus merenggut gelimangan target yang akan di raup.
“Tikus-tikus tak kenal kenyang” istilah ini menjadi humor bagi para penggiat meneror para tikus yang mulai kebasahan menikmati genangan harta yang sangat lezat. Regulasi pun hanya menjadi hiasan pada kitab undang – undang contoh Pasal 2 ayat 1, Pasal 3, dan Pasal 12 (e) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Selain itu, sering di langar yakni pada regulasi Pasal 55 ayat 1 ke satu KUHP.
Tikus selalu identik dengan musuhnya Kucing. Tikus disini digambarkan adalah sosok pegawai kantor yang rakus, licik dan penjilat. Contohnya para pejabat Indonesia yang selalu ingin mengambil hak milik orang lain dengan berkorupsi, baik materi ataupun dengan barang-barang yang mereka punya. Sedangkan kucing disini diterjemahkan sebagai sosok pimpinan yang tidak disiplin dan suka korupsi atau terima suap.
Mengingat karakter kedua binatang tersebut mirip dengan karakter orang-orang yang bersifat seperti itu. Coba perhatikan orang-orang model penjilat seperti tikus dalam lagu ini. Hampir mudah kita jumpai di setiap kantor-kantor instansi pemerintahan/swasta dan kampus. Bawahan yang menjilat atasannya, berlagak sopan dan baik didepan atasannya.
Namun begitu atasannya pergi, mulailah mereka bertindak kotor dan berbuat kasar. Begitu juga orang-orang model kucing seperti dalam lagu ini. Seorang atasan atau pimpinan instansi yang kerap mempersulit urusan bawahannya. Lalu dengan terang terangan meminta uang suap untuk melancarkan urusan itu. Ini sudah bukan rahasia lagi, dimana-mana mudah kita jumpai. Pantas saja negara ini menjadi surganya para koruptor karena tindakan mereka yang tidak diancam dengan hukuman yang tegas.
Seperti pada lirik yang “Masa bodoh hilang harga diri asal tidak terbukti ah”. Pada lirik disitu bercerita mengenai para pekerja di Indonesia baik pejabat maupun kantor sama saja apabila sudah tersangkut kasus korupsi mereka rela dengan sadarnya berbohong kepada publik bahwa mereka telah korupsi dan mengambil uang rakyat.
Dendangan lagu ini nikmat sekali karena benar-benar menyindir para pejabat kampus yang korupsi, tetapi mereka tidak pernah sadar bila banyak dari musisi dan penyair di Indonesia menyindir mereka karena mereka berbuat yang seenaknya.
Di tengah gencatan kehidupan negara ini, perguruan tinggi semestinya memposisikan diri sebagai mitra kritis bagi pemerintahan atau menjadi laboratorium untuk meracik gagasan-gagasan yang independen dan ilmiah. Dengan demikian, maka para akademisi dan intelektual di kampus mesti menjaga diri, tidak terlibat politik pragmatis dukung mendukung calon untuk kepentingan sempit dan jangka pendek. Justru, setelah itu akan menjadi stimulus mengamankan perlakuan tikus dalam menikmati keju yang lezat (harta).
Seharus nya perguruan tinggi harus tampil sebagai lokomotif dalam hal transformasi kesejahteraan masyarakat melalui kerja pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakatnya serta menjadi perekat bangsa untuk mempersatukan berbagai macam kepentingan demi menjaga NKRI dan memperkuat Bhineka Tunggal Ika.
Tri-dharma perguruan tinggi merupakan jiwa atau prinsip dari setiap institusi pendidikan tinggi. Itulah yang menjadi nafas perguruan tinggi dimanapun. Namun jiwa atau prinsip tersebut akhir-akhir ini rasa-rasanya hanya menjadi slogan atau pepesan kosong. Mengingat, banyaknya praktek-praktek yang melanggar tri-dharma perguruan tinggi. Sangat disayangkan ketika para civitas akademika perguruan tinggi malah sibuk berpolitik pragmatis, bukannya sibuk bekerja untuk pengabdian kepada masyarakat.