Pelita.co – Fungsi penyidikan tambahkan dalam RUU Kejaksaan patut diapresasi. Praktik penyidikan oleh penyidik polisi dan PPNS yang selama ini serampangan tidak lain dikarenakan hilangnya fungsi jaksa untuk melakukan supervisi dan melengkapi penyidikan polisi dan PPNS. KUHAP yang lahir di era Orde Baru didesain untuk melegitimasi intervensi militer dalam sistem peradilan pidana. Polisi yang waktu itu bagian dari ABRI nyatanya lebih tunduk pada komando PANGKOBKAMTIB atau Panglima ABRI dibanding pada petunjuk Jaksa dan kontrol pengadilan.
Pasca pemisahan Polisi dari ABRI, praktis penanganan perkara pidana di tahapan penyidikan berada dalam kontrol polisi yang sayangnya masih enggan untuk melepas kultur dan birokrasi militeristiknya. Akibatnya sebagaimana temuan LBH penanganan perkara masih dominan unsur kekerasan dan tidak berlandaskan hukum acara. Dalam banyak kasus penahanan, penyitaaan dan penggeledahan barang bahkan digunakan tidak untuk tujuan pengumpulan bukti namun hanya sebagai sarana represi. Kasus penangkapan aktivis yang kritis dan penyitaan barang yang tidak berhubungan dengan perkara mendominasi praktik buruk ini.
Pengaturan penyidikan tambahan dan supervisi penyidik oleh jaksa di revisi UU Kejaksaan merupakan salah satu sarana untuk mengembalikan fungsi penyidikan untuk pengembalian fungsi upaya paksa (penangkapan, penahanan dan penyitaan) ke asalnya untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Tentu setelah revisi UU Kejaksaan, KUHAP harus segera direvisi agar segera mengesahkan mekanisme kontrol kepada penyidik dan penuntut di tahap pra ajudikasi melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan agar masyarakat yang dirugikan akibat perlakuan aparat dapat mengajukan komplain terhadap haknya yang dilanggar.
Penulis: Fachrizal Afandi, SH., MH
Direktur Eksekutif PERSADA UB (Pusat Pengembangan RIset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya Malang)