Oleh Zulfata Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM), tinggal di Tebet, Jakarta Selatan
Pelita.co – Diskusi terkait satu Aceh di malam sebelumnya kembali dilanjutkan. Pagi Minggu menjelang siang, pesan WhatsApp saya kembali masuk “Jam 3 ngopi di Benhil ya kalau ada waktu”. Saya langsung membalas jawaban “ok”. Saat itu saya tiba di lokasi diskusi dengan tepat waktu, tanpa jalan macet, tanpa gerimis atau hujan dan badai. Cuaca Jakarta hari itu sangat bersahabat.
Tibanya di ruangan diskusi, di lantai dua, saya langsung disuguhi pertanyaan oleh narasumber utama “gimana pendapat zul memahami diskusi semalam?”, “ruwet dan menyuramkan”. Jawab saya. Lantas narasumber utama juga melanjutkan “betul, kalau saya jadi (dia), saya akan tinggalkan itu jabatan”.
Penggalan percakapan saya dengan narasumber utama yang disinggung di atas merupakan bagian kecil isyarat yang menandakan bahwa batapa beratnya beban kemunduran Aceh yang diakibatkan oleh elitenya sendiri saat ingin membangun Aceh dari sektor pengelolaan sumber daya alam. Baik dari sisi perhitungan bisnis, politik maupun peraturan daerah. Benturan praksis bisnis dan politik di Aceh telah menjadikan Aceh sedang melaju kencang ke arah kemunduran.
Lagi-lagi, spirit satu Aceh kembali diuraikan oleh narasumber utama, cara pandang Aceh melihat nasional atau pemerintah pusat harus diubah, tidak boleh selalu mengedepankan curiga secara berlebihan. Aceh tidak akan bisa berbuat apa-apa dalam hal membangun daerah berbasis pengelolaan sumber daya alamnya ketika terus-terusan melihat nasional sebagai ancaman, terlebih kompromi di internal elite Aceh juga belum kuat berpihak untuk kemajuan Aceh.
Saat diskusi telah berjalan, narasumber lainnya kemudian hadir, ia duduk si sebalah kanan saya, pelaku diskusi menjadi tiga orang. Kemudia narasumber yang baru datang tersebut, setelah sejenak mendengar jalannya diskusi, ia langsung menyatakan “iya ya, maaf ya, kasihan Aceh kalau seperti itu, kok bisa begitu ya”. Dengan karakternya yang hamble, narasumber tersebut kemudian melanjutkan pernyataannya “susah itu Aceh”.
Kemudian saya memberikan pandangan bahwa Aceh itu butuh pemimpin yang memiliki keterampilan seperti memimpin korporasi (CEO), sehingga dapat mendulang keuntungan besar bagi daerah Aceh, tenaga kerja terserap besar, aset bekerja untuk Aceh secara berkelanjutan.
Kemudian narasumber utama menguraikan bahwa betul Aceh harus mempersiapkan pemimpin yang juga memiliki kemampuan yang benar-benar sorang CEO (chief executive officer). Sehingga diskusi tentang pasang surut perusahaan negara semakin terurai.
Sanking menikmatinya diskusi, saya dengan polosnya memberi pernyataan “bang, sepertinya saya harus kuliah lagi, harus kuliah banyak terkait bisnis dan negara”. Kemudian para narasumber memberikan nasehat bahwa tidak perlu kuliah, belajar saja dengan berdiskusi berbasis pengalaman para pelaku bisnis yang paham tentang kekuasaan di Indonesia.
Masing-masing narasumber terus memberikan pemahaman kepada saya dengan memberikan pegalaman mereka yang saat itu awalnya merasa dirinya tidak paham bisnis dan kekuasaan, kemudian saat mereka telah masuk ke dalam dunia bisnis yang luas dan dalam, mereka secara tidak langsung terus belajar, sehingga saaat ini mampu menjabat berbagai posisi strategis dalam perusahaan swasta maupun perusahaan milik negara.
Dari situ, narasumber menyatakan bahwa itulah yang namanya oligarki. Kemudian saya kembali memantik diskusi “sungguh kuat oligarki itu bang” ucapan saya kepada narasumber, jawabannya “memang, oleh karena itu terkadang tidak salah ketika kita menganggap bahwa negara ini berjalan tidak ideal, pun tidak hanya di negara kita, di berbagai negara lain substansinya juga sama”. Begitu uraian singkat narasumber utama disesi itu.
Tanpa diduga, disaat diskusi berlangsung, satu nasumber lagi yang tanpa saya duga juga hadir di ruangan diskusi, sebelumnya saya hanya mendengar kiprahnya dari berbagai tulisan dan pemberitaan saja, namun pada saat itu ia hadir dan memberikan beberapa pemicu nalar dalam diskusi. Sehingga diskusi berjalan semakin menarik. Dalam konteks ini membuat saya semakin meyakini bahwa kekuatan dari sebuah koneksi terkadang membuat kita berada pada posisi antara percaya dan tidak percaya.
Namun begitulah kenyataannya, koneksilah yang menentukan kuat atau tidaknya dalam mencapai sesuatu, baik secara pribadi maupun kelompok.Para pelaku diskusi ini tampak memiliki keinginan besar untuk memajukan Aceh dari kancah nasional, sehingga diskusi ini jarang sekali mendiskusikan hal-hal yang bersifat pikiran sempit, misalnya tidak mendiskusikan hasil atau cara pandang Aceh melihat pemerintah nasional yang cenderung meleset. Tetapi diskusi ini berusaha bagaimana menciptakan kemajuan bagi Aceh dengan cara pandang nasional dan bagaimana bejuang secara politik dan bisnis di nasional.
Menurut narasumber utama, tahapan awal untuk memperkuat satu Aceh adalah memutuskan peran para generasi senior (generasi Aceh yang tidak lagi berpikir dan berjiwa muda), hal ini tentunya dengan cara yang selektif dan penuh pertimbangan yang bijaksana demi kebaikan Aceh di masa depan. Kemudian saya mempertanyakan bahwa apa sebenarnya tujuan dan alat perekat agar satu Aceh ini bukan sekadar slogan kosong?
Tujuan Aceh satu adalah agar kekuatan Aceh di nasonal tidak pecah-becah, tidak saling sikut-menyikut. Pilihan politik boleh beda masing-masing orang Aceh, tetapi atas nama kemajuan Aceh, orang Aceh tidak boleh terpecah-belah di kancah nasional. Sehingga regenerasi orang-orang Aceh yang berada di lingkar pemerintahan pusat nantinya akan memberikan yang terbaik baik Aceh-Indonesia. Oleh karena itu, perekat satu Aceh ini adalah semangat keacehannya yang universal, tidak lagi terjebak dengan spirit kedaerahan-kedaerahan yang begitu kental di daerah Aceh.
Kekentalan rasa kedaerahan tersebut memang baik untuk membangun kabupaten/kota, tetapi tidak untuk membangun provinsi dari kekuatan nasional. Untuk itu, gagasan satu Aceh ini adalah kesadaran bagi orang-orang Aceh yang berkiprah di level nasional, sehingga ketika generasi muda Aceh yang hendak berjuang atau berkarir di level nasional tidak lagi mengedepankan ego-ego sesama kabupaten/kotanya.
Semua orang Aceh di Jakarta didorong untuk memiliki kesadaran kolektif-kesatuan atas nama Aceh. Perangai yang terlalu pengedepankan ego-ego kabupaten/kota, nyo awak gampong lon dan sinyan bukan awak gampok lon antar sesama orang Aceh yang berada di kancah nasional harus dikikis kemudian dihilangkan. Sehingga spirit satu Aceh di level nasional dapat menjadi kekuatan pencerahan bagi daerah Aceh khususnya dan bagi Indonesia pada umumnya.
Penting untuk digarisbawahi adalah satu Aceh ini bukanlah bentuk gerakan etno-nasiolnya Aceh, bukan pula gerakan politik praktis, tetapi dapat disebut sebagai strategi kebudayaan untuk memajukan Aceh dari kancah nasional sebagai perpanjangan dari cita-cita negara Indonesia, yaitu memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Ibarat kancah atau kuali besar yang digunakan untuk memasak suatu kuliner Aceh, gagasan dan gerakan satu Aceh ini berisi banyak kepentingan, banyak pola pikir, banyak keahlian, banyak tantangan, banyak suku dan bahasa, banyak hirarki sosial politik, tetapi semua yang banyak ini tetap berada dalam naungan yang disebut Aceh. Aceh yang pada sisi lain memang berbeda-beda, tetapi dalam kesadaran satu Aceh ini adalah satu kesatuan untuk memajukan Aceh dari gelangang politik nasional.
Pemahaham terkait satu Aceh seperti inilah yang ingin melibatkan atau menjangkau seluruh generasi muda Aceh hari ini dan di masa akan datang.Tanpa kekompakan, tanpa rasa senasib sepenanggungan sesama orang Aceh yang bejuang di kancah nasional, sungguh Aceh sebagai provinsi tidak akan pernah mengalami kemajuan. Karena Provinsi Aceh saat ini mesti banyak belajar, terutama bagaimana cara untuk sampai betul-betul mampu mengelola sumber daya alamnya sendiri tanpa menciptakan jarak dan bersikap keras kepala terhadap berbagai masukan yang rasional dari semua pihak.
Meski bagaimanapun historis dan liku-likunya, Aceh adalah suatu daerah “istimewa dan khusus” bagi Indonesia. Untuk itu orang-orang Aceh yang berjuang di kancah nasional jangan menyia-nyiakan posisi Aceh yang sejatinya strategis, namun karena orang-orang Aceh di kancah nasional terpecah-pecah, sehingga mengakibatkan provinsi Aceh tampak tidak menarik untuk diperbincangkan dalam agenda pembangunan di Indonesia.
Diskusi malam itu tidak sampai larut malam, alasan besok harinya adalah hari senin mendorong diskusi malam itu cepat usai.
Sehingga ada kalimat pemantik yang muncul sebelum diskusi tersebut diakhiri “Aceh jangan terlalu bergantung pada dana otsus, sebab Aceh bisa maju pesat tanpa dana otsus jika Aceh memiliki pemimpin yang kuat serta cerdas dalam mengelola Aceh di kancah politik nasional”. Kalimat sibak rukok teuk sebelum menutup diskusi malam itu pun tak terdengar. Perlahan-lahan satu persatu pelaku diskusi berjalan keluar dari ruang diskusi, turun ke lantai satu, kemudian ke parkir dan kemudian saling pamitan untuk pulang ke rumah masing-masing.