Pelita.co – “Sore ke Benhil ya Zul,” chat masuk saat pagi menjelang siang waktu bagian Jakarta. “Ok bang,” ketik balik chat saya. Chatingan berlanjut, “Jam 4 ya,” muncul ketikan chat lagi, “ok” jawab ketikan saya. Hari itu diskusi persilatan lintas kehidupan dilanjutkan, mulai dari genre rasa rasional tapi kenyataannya seperti mitos, hingga rasa mitos tapi kenyataannya benar-benar terjadi.
Belakangan ini, semenjak isu pilpres 2024 mengerek naik, diskusi inspirasi agak sedikit berbeda, bahkan saya tidak begitu tertarik untuk dimuatkan dalam tulisan bincang inspirasi ini. Ketidaktertarikan itu bukan berarti tidak ingin mengabadikannya, hanya saja belum begitu kuat dilempar ke publik, karena dapat memicu kontroversial akut dalam pentas politik nasional dan daerah.
Hari itu, saya telat sampai di Benhil, telat satu jam lebih, bukan karena macet, bukan pula karena cuaca ekstrem Jakarta, melainkan padatnya agenda persilatan di hari itu. Ketika tiba di Benhil, masuk ke ruang diskusi dengan diawali salam, saya langsung bersalaman dengan dua narasumber yang selalu datang memicu diskusi.
Belakangan ini narasumber tidak begitu banyak yang hadir, saya tidak mengetahui pasti alasan mengapa tidak hadirnya mereka, yang jelas menurut saya mereka (narasumber) memiliki kesibukannya masing-masing, maklum, orang-orang berpengaruh di bisangnya, sehingga tidak bisa berbagi inspirasi di ruang diskusi itu. Setelah bersalaman dengan dua narasumber, saya duduk sejenak meminum air mineral sebagai pelepas dahaga di jalanan, meskipun hari itu hari minggu, jalan dari Tebet menuju Benhil tidak begitu jauh, hanya menempuh waktu lebih kurang 16 menit dengan kenderaan jalan santai, itu pun harus dekat melaui jalan layang yang tidak diizinkan kenderaan roda dua melintas.
Setelah duduk sejenak, narasumber satunya menyatakan kepada saya bahwa baru saja narasumber lainnya pulang, sebab ia sudah dari tadi siang di ruangan tersebut. Saya pun terkejut, “waduh” padahal seru diskusi kalau dengan abang itu. Tetapi tidak apa, pasti ada di lain waktu bisa jumpa dan diskusi lagi dengan beliau. Tidak berlebihan rasanya, sebagai anak kampung yang merantau ke Jakarta, kemudian diterima dalam circle diskusi dengan orang-orang yang berpengaruh di republik ini.
Penerimaan saya untuk dilibatkan dalam diskusi membuat saya terus terpicu dan semangat dalam membuka becana ilmu, terus membukanya untuk menampung berbagai gagasan, analisis serta pengalaman hidup dari masing-masing narasumber dalam diskusi inspiratif tersebut. Bagi saya diskusi yang terus dihidupkan di ruangan itu penuh dengan ketajaman wawasan dan kemantapan pengalaman yang patut dicerna dan pikirkan untuk kemudian dijadikan bekal dalam mengarungi bahtera kehidupan yang penuh sandiwara ini. Dunia itu fana kata kaum agamawan. Dunia ini menyenangkan kata kaum pemodalan.
Terkadang di benak saya masih melintas-lintas ucapan yang barangkali radikal. Waktu itu, narasumber utama pernah berucap “tidak perlu kuliah lagi terkait itu Zul, duduk, dengar dan diskusi di meja ini, semua kemampuan yang dibicarakan akan di dapat,” ujar narasumber utama.
Kemudian ditopang lagi dengan narasumber pendukung “Betul, saya aja kuliah magister bisnis di Amerika, tetapi di meja ini saya baru mendapatkan semua ilmu dan kecakapan itu,”. Dialog dua narasumber ini memang membuat akal saya terbentur, agak sedikit tergoncang dalam makna yang produktif. Namun demikian, lanjut narasumber utama, “Diskusi seperti ini tidak bisa kita lontarkan mentah-mentah ke anak-anak, bisa kacau nanti,” semua pun tertawa mendengar kalimat tersebut.
Diskusi inspirasi hari itu pun berlanjut terkait apa yang dialami bangsa ini, serta mencerminkan dengan kondisi negara lain seperti Singapura, Jepang, Arab Saudi, Malaysia, Amerika, Turki, Rusia, China dan negara lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu. Pada sesi itu, terdapat satu benang merah bahwa adanya ucapan “Biarlah bangsa ini begini saja, toh Indonesia masih kuat, kita mau lakukan apa saja masih bisa, dari pada negara lain yang tidak bisa melakukan apa-apa,” kalimat satire ini justru membuat kami pada akhirnya tertawa, dan saya pun geleng-geleng kepala mendengarnya.
Dengan berbagai penalaran yang dinyalakan di ruang diskusi ini, bagi saya aktivitas ini adalah aktivitas universitas yang konkret, banyak fakta persilatan yang dapat dilihat secara terang-benderang di isini, banyak hal yang dapat dikonfirmasi kebenaran informasinya, mulai dari persoalan republik 01 hingga ke hal daerah 01 dan 02, terlebih melihat Aceh dari kacamata helikopter.
Berangkat dari itu, saya menyebut tempat ini adalah Universitas Connection, dimana tidak semua narasumber bisa hadir, tidak semua mahasiswa dapat diterima serta tidak semua fakta dapat dipercayai, semuanya tergantung sejauhmana kekuatan connection. Parahnya, tidak semua yang dianggap penting itu perlu diperjuang secara mati-matian. Universitas Connection ini benar-benar memukau dalam mencermati gelanggang persilatan di tanah air.